Kamis, 02 Juni 2011

Biarkan Kami Bicara (MEMOAR PENGHILANGAN PAKSA DI ERA SOEHARTO)


BIARKAN KAMI BICARA
(MEMOAR PENGHILANGAN PAKSA DI ERA SOEHARTO)

Nama       : Ignatius Noventa Sanjaya
     NIM         : 30810101
     Jurusan    : Sistem Informasi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Alasan Pemilihan Judul
“Demokrasi!”, kata itu diteriakkan hampir oleh semua orang di Indonesia secara khusus dan dunia secara umum. Unjuk rasa terjadi dimana-mana. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, sepanjang Desember 2009 hingga 8 Maret 2010, terdapat 1.057 aksi unjuk rasa di Jakarta[1]. Jika dihitung, rata-rata dalam sehari terdapat 11 unjuk rasa di Jakarta. Jumlah ini cukup sensasional jika kita melihat kembali kondisi Indonesia saat Soeharto berkuasa. Tak ada yang berani mengungkapkan gagasannya, sebab nyawa menjadi taruhannya. Siapa berani melawan pemerintah, berarti siap berhadapan dengan selongsong peluru, derap sepatu aparat, dan akhirnya siap untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia.
Irfan Bachdim dan Christian Gonzales menjadi orang yang dipuja-puja masyarakat akhir-akhir ini. Mereka dianggap sebagai pahlawan lapangan hijau, dalang kebangkitan persepakbolaan Indonesia. Dimana-mana kita dapat menemukan kaos timnas Indonesia, yang kini terkenal dengan nama “Garuda di Dada”, dengan nomor punggung 17 milik Irfan Bachdim dan nomor 9 milik Christian Gonzales.
Akan tetapi, apakah Anda mengenal Widji Thukul? Apakah Anda juga pernah setidaknya mendengar nama Andi Arief? Siapa mereka? Apa jasa mereka kepada Indonesia? Apa yang membuat mereka layak dikenang masyarakat?
Fenomena di atas menjadi sebuah ironi tersendiri bagi penulis. Masyarakat bahkan tidak tahu (dan tak mau tahu) orang-orang yang sebenarnya memiliki jasa yang besar terhadap negeri ini. Orang-orang yang tahu pun kini telah melupakan mereka, PARA KORBAN PENGHILANGAN PAKSA DI ERA SOEHARTO.
Karya tulis singkat ini penulis susun guna setidaknya memberi gambaran singkat kepada masyarakat mengenai kasus penghilangan paksa yang menimpa para aktivis HAM di era orde baru. Dalam kurun tahun 1997-1998 tidak kurang dari 10 aktivis dihilangkan secara paksa dari hadapan masyarakat. Ada di antara mereka yang diculik, ada pula yang ditahan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang tiba-tiba saja tidak ada kabarnya sama-sekali hingga saat ini. Untuk lebih jelasnya, jangan berhenti membaca karya tulis ini di sini.

1.2              Masalah yang Diangkat
Dalam karya tulis ini, penulis akan mengangkat tragedi penghilangan paksa yang menimpa para aktivis HAM pada tahun 1997-1998. Penulis berharap pembaca dapat melihat lebih dekat siapa saja aktivis yang menjadi korban tragedi ini dan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka, serta bagaimana peran pemerintah dalam kasus ini.
Memang masih terjadi kesimpang-siuran mengenai kasus penghilangan paksa yang terjadi di akhir abad 20 ini. Akan tetapi, penulis berusaha untuk menyajikan data yang sebenarnya, data yang mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Selamat membaca.

1.3              Data Masalah[2]
1.3.1        Penghilangan Paksa
Peristiwa penghilangan orang secara paksa adalah penculikan aktivis 1997/1998 atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa.

1.3.2        Kesimpulan Komnas HAM
Kasus ini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006.
Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.
Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.[3]
Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI.
Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM meminta DPR agar mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk menuntaskan persoalan. Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007 juga meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis.

1.3.3        Tim Mawar
        Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.
        Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.[4]
          Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.[4]. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi.[5]
          Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta Dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.[6]
          Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya. Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer.[7]

1.3.4        Keadaan Tahun 2007
Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka. Sementara itu mereka tetap meniti karier di TNI dan meduduki beberapa posisi penting, rincianya sbb:
1.                  Bambang Kristiono: dipecat
2.                  Fausani Syahrial Multhazar: pada tahun 2007 menjabat Dandim Jepara dengan pangkat Letnan Kolonel.[8]
3.                  Nugroho Sulistyo Budi:
4.                  Untung Budi Harto: tahun 2007 menjabat Dandim Ambon dengan pangkat Letnan Kolonel.[9]
5.                  Dadang Hendra Yuda: pada September 2006 menjabat Dandim Pacitan dengan pangkat Letnan Kolonel.[10]
6.                  Jaka Budi Utama: pada tahun 2007 menjabat Komandan Batalyon 115/Macan Lauser [11]
7.                  Sauka Nur Chalid:
8.                  Sunaryo:
9.                  Sigit Sugianto:
10.              Sukardi:
Sedangkan Kolonel Infantri Chairawan dipromosikan menjadi Danrem 011 Lilawangsa [1]. Kabar terakhir dari Mayjen Muchdi PR adalah kemunculanya dalam sidang pembunuhan aktifis HAM Munir untuk dimintai keterangan mengenai keterlibatan dirinya maupun BIN dalam pembunuhan tersebut.[12] Muchdi PR adalah mantan Deputi V BIN pada saat Munir terbunuh.[13] Ketika kasus ini kembali mencuat, Panglima TNI menyatakan bahwa dari hanya satu dari enam tentara yang dipecat yang telah benar-benar dipecat yaitu Mayor (inf) Bambang Kristiono. Lima tentara yang lain dinyatakan terbebas dari hukuman pemecatan, dan hukuman penjaranyapun dikurangi.

1.3.5        Panitia Khu­sus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang)
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu.
Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI.[14]
28 September 2009, Panitia Khu­sus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) mere­ko­me­ndasikan peme­rintah, da­lam hal ini Kejaksaan Agung, segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik penculikan aktivis pro demokrasi di tahun 1998-1999.[15]



















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 UUD 1945 Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
2.2 UUD 1945 Pasal 28E Ayat 2
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
2.3 UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
2.4 Aktivis adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan pergerakan yang bertujuan menyebabkan perubahan sosial atau politik. Seringkali pergerakan semacam ini berpihak kepada — atau menentang — sebuah argumen yang kontroversial. Biasaya orang atau sekolompok orang tersebut melakukan unjuk rasa, kampanye politik, boikot, mogok kerja atau taktik-taktik gerilya.[3]

2.5 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau disingkat KontraS (bahasa Inggris:The Commission for Disappeareances and Victims of Violence) adalah sebuah gugus tugas yang dibentuk oleh sejumlah LSM seperti LPHAM, ELSAM, CPSM, PIPHAM, AJI dan sebuah organisasi mahasiswa PMII. KontraS dibentuk pada tanggal 20 Maret 1998. Gugus tugas ini semula bernama KIP-HAM yang telah terbentuk pada tahun 1996. Sebagai sebuah komisi yang bekerja memantau persoalan HAM, KIP-HAM banyak mendapat pengaduan dan masukan dari masyarakat, baik masyarakat korban maupun masyarakat yang berani menyampaikan aspirasinya tentang problem HAM yang terjadi di daerah.
Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh, Papua, Peristiwa Tanjung Priok dan Timor Timur maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, KontraS berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan.
Koordinator Badan Pekerja KontraS sekarang adalah Usman Hamid SH menggantikan Ketua Presidium KontraS Ori Rahman yang menggantikan Munir yang terbunuh pada 7 September 2004.[4]

2.6 Partai Rakyat Demokratik[5]
2.6.1 Partai Rakyat Demokratik adalah sebuah partai politik Indonesia yang berhaluan sosialis-demokrat. Partai ini tidak mempunyai jaringan ataupun massa yang besar, dan tergolong sebagai partai kecil; namun demikian, perannya dalam sejarah politik Indonesia sangatlah penting. Walaupun sering salah diinterpretasikan sebagai gerakan komunis, partai ini bergerak dengan metode sepenuhnya non-kekerasan.
2.6.2  Dasar Perjuangan
Enam panji PRD adalah:
1.      Merdeka
2.      Demokratis
3.      Kerakyatan
4.      Modern
5.      Bersih
6.      Internasionalis
2.6.3    Sejarah
 Sejarah partai ini sendiri cukup pendek (baru berumur sekitar satu dekade), tetapi penuh dengan pergolakan. Partai ini mulai terbentuk pada awal 1996 dengan diprakarsai oleh sejumlah intelektual muda, termasuk ketua pertamanya, Budiman Sudjatmiko. Banyak dari anggotanya adalah intelektual dan aktivis muda, termasuk mahasiswa. Sebelum terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996, dimana PRD dikambing-hitamkan sebagai dalangnya, Partai ini mendapat dukungan utama dari salah satu organisasi onderbouwnya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID.
 Sejak awal, partai ini sudah menunjukkan sikap oposisi terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru. Manifesto 22 Juli 1996 yang dideklarasikan partai ini pada tanggal tersebut, adalah deklarasi yang secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Kondisi politik yang dikritik adalah jauhnya model pemerintahan Orde Baru dari sistem yang demokratis. Sementara kondisi sosial-ekonomi yang dikritik adalah kesenjangan sosial akibat kebijakan berorientasi pertumbuhan, dengan melupakan pemerataan dan distribusi yang adil.
Di samping itu, Manifesto ini juga menyinggung-nyinggung masalah korupsi dan kolusi yang menjamur di birokrasi pemerintahan. Di usia awalnya ini pula, partai ini mulai membela dan mengadvokasi petani-petani pedesaan dalam membela hak atas tanah. Urusan ini, secara umum ditangani oleh STN (Serikat Tani Nasional), onderbouw PRD. Mobilisasi massa untuk demonstrasi dan protes pun tak jarang terjadi, yang tak hanya melibatkan petani, tetapi juga buruh, LSM, dan aktivis dari organisasi lain.
Sejak 1997, karena popularitas PRD yang semakin meningkat, dan juga kondisi sosial-ekonomi serta politik yang mulai tidak stabil, pemerintah Orde Baru mulai melakukan penindasan terhadap berbagai gerakan politis yang dianggap subversif, apalagi yang dianggap kiri, dan komunis, termasuk salah satu korbannya adalah PRD.

2.6.4    Reaksi Pemerintah Orde Baru
Sejak saat itu banyak anggota PRD dan orang-orang yang terafiliasi dengannya menerima teror dan tekanan. Tak sedikit dari mereka yang ditahan tanpa alasan yang jelas, dipenjara tanpa proses pengadilan, ada yang diculik, dan disiksa secara fisik dan diteror secara mental. Beberapa korban misalnya, dipukuli dan disiksa aparat di depan beberapa teman yang diundang untuk menyaksikannya -- sebagai terapi kejutan ala Orde Baru. Mereka yang diculik terutama dipaksa untuk mengaku bahwa mereka melawan pemerintah, atau dengan kata lain, bertindak subversif. Kantor PRD sendiri bahkan sempat diserang oleh gerombolan orang tak dikenal. Di beberapa daerah yang dekat dengan pedesaan, seperti di Bantul, DIY, misalnya, warung-warung dan 'angkringan' juga disusupi intelijen dan polisi untuk menangkapi anggota-anggota partai ini.
Di samping mengadvokasi dan mengorganisasi petani dan buruh, salah satu tindakan PRD yang membuat pemerintah semakin kebakaran jenggot adalah pernyataan dukungan PRD yang diberikan pada gerakan kemerdekaan Timor Timur. Budiman Sujatmiko sendiri sempat berada dalam satu penjara di LP. Cipinang dengan Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan (kini presiden) Timor Timur.

2.6.5    Peran PRD dalam Reformasi
Pada akhir 1997 dan awal 1998, peran partai ini dalam gelombang Reformasi dan dalam menumbangkan rezim Soeharto juga signifikan. Reformasi yang diprakarsai intelektual ini ternyata ditunggangi oportunis yang begitu banyak jumlahnya. Klimaksnya tentunya adalah Mei 1998, yaitu kekacauan dalam skala nasional, termasuk kerusuhan rasial, pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan (yang diduga didalangi oleh militer, terutama Angkatan Darat). Namun setelah itu, Presiden Suharto bersedia untuk mundur dan menyerahkan tampuk pemerintahan kepada wakilnya B.J. Habibie.
Pasca-reformasi, partai ini masih aktif dalam menggalang protes dan demonstrasi mengkritik berbagai kebijakan pemerintah. Dalam beberapa waktu, partai ini juga masih kadang-kadang berbenturan dengan aparat, dan dalam aksinya kadang-kadang juga mengalami perlawanan dari organisasi fundamentalis sayap kanan. Ketua PRD saat ini adalah aktivis buruh Dita Indah Sari.























BAB III
PEMECAHAN MASALAH

  1. Membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc[6]
  2. Segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang
  3. Merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;
  4. Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.[7]
  5. Memberi jaminan keamanan terhadap siapapun yang ingin mengutarakan pendapat, gagasan, maupun protes. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa penyampaiannya pun dilakukan dengan memperhatikan tata cara yang baik dan benar (tanpa kekerasan atau anarkis)







BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Indonesia memiliki sejarah yang amat panjang. Soeharto mencatatkan diri sebagai presiden ke-2 Indonesia, menggantikan Soekarno pada tahun 1966. Selama 32 tahun masa kekuasaannya, Indonesia dikenal sebagai macan Asia. Banyak negara yang segan pada Indonesia. Tak hanya itu, dalam masa pemerintahannya tak ada satupun negara yang berani macam-macam pada Indonesia. Pendapatan per kapita Indonesia sebesar US$70 di tahun 1967 menjadi US$1,110 di tahun 1997. Dalam masa pemerintahannya, Indonesia juga diakui sebagai Negara perekonoian industrialisasi baru.[8]
Meskipun begitu, pemerintahan Soeharto juga menorehkan luka mendalam pula di hati banyak orang. Banyak sekali pelanggaran yang dilakukan rezim Soeharto. Korupsi, kolusi, dan nepotisme meningkat. Pelanggaran HAM seolah menjadi hal yang lazim dijumpai. Salah satu noda hitam yang masih ada di Indonesia adalah penghilangan paksa aktivis-aktivis HAM pada kurun tahun 1997/1998.
Penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia kala itu menandakan betapa tertutupnya pemerintah terhadap gagasan warga negaranya. Bukannya mendapat perlindungan, para aktivis itu justru musti menelan pil pahit dengan menjalani hidup di penjara. Ada pula yang mengalami penyiksaan. Beberapa orang mengalami hal yang tak kalah mengenaskan. Mereka belum ditemukan hingga saat ini. Benar-benar tak ada yang dapat mengintervensi kekuasaan Soeharto.
4.2 Saran
            Melihat kondisi Indonesia pada era Soeharto, kita semestinya bersyukur karena saat ini tiap warga negara dapat menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya jumlah unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari anak kecil hingga orang tua, tanpa memandang agama dan ras, serta suku bangsa; semua berhak untuk mengemukakan pendapat.
            Akan tetapi, sangat disayangkan pula jika kita melihat banyaknya aksi anarkis yang dilakukan pendemo saat ini. Unjuk rasa yang awalnya mempunyai tujuan yang konstruktif (membangun) berubah menjadi aksi destruktif yang merugikan semua pihak. Aksi damai yang dilakukan di awal demonstrasi bisa saja menjelma menjadi suasana chaos, terjadi pertikaian antara pendemo dan aparat keamanan. Kebebasan mengungkapkan aspirasi sayangnya tak diimbangi dengan cara pengungkapan yang baik dan benar.
            Mewujudkan Indonesia yang lebih baik bukan hanya pekerjaan rumah pemerintah, melainkan juga seluruh warga negara Indonesia dan penduduk yang tinggal di Indonesia. Kerjasama dari semua lini masyarakat mutlak diperlukan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang diidamkan masyarakat. Saling menjaga, membantu, mengawasi, dan mengoreksi jika ada yang salah. Punya gagasan? Ungkapkanlah. Ingin protes? Proteslah. Ingin mengadakan unjuk rasa untuk menuntut pemerintah? Lakukanlah. Tapi ingat, lakukan dengan bijaksana, bukan dengan anarkisme. 
            Mari wujudkan Indonesia yang lebih baik. Hidup demokrasi!










BAB V
DAFTAR PUSTAKA




LAMPIRAN
1.      14 Korban Penculikan yang Diyakini Sudah Meninggal[9]
Nasib 14 korban penghilangan secara paksa (penculikan) tahun 1997-1998 tidak jelas bertahun-tahun. Tapi, kini ada informasi penting. Mereka diyakini sudah meninggal dunia. Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto menyatakan, informasi bahwa keempat belas korban penculikan sudah meninggal dunia berasal dari pengakuan mantan Panglima ABRI Jenderal (purn) Wiranto. Wiranto mengungkapkan hal itu saat bertemu Ketua Tim Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa (TPOSP) Ruswiati Suryasaputra di cafe shop di Gedung Lippo, Jl. Sudirman, Jumat (10/6/2005) lalu. "Informasi ini valid," kata Mugiyanto yakin. Benarkah pengakuan Wiranto itu? Hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari TPOSP, maupun Wiranto. Siapa saja 14 korban yang diculik itu? Berdasarkan data IKOHI, inilah mereka: 1. Yani Afri (Rian): sopir, pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26 april 1997. 2. Sonny: sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI Megawati. Hilang di Jakarta pada 26 April 1997 3. Deddy Hamdun: pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997 4. Noval Alkatiri: pengusaha, teman Deddy Hamdun, aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997 5. Ismail: sopir Deddy Hamdun. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997 6. Wiji Thukul: penyair, aktivis JAKER, afiliasi PRD. Dia hilang di Jakarta pada 10 Januari 1998 7. Suyat: aktivis SMID. Dia hilang di Solo pada 12 Februari 1998 8. Herman Hendrawan: Mahasiswa Unair, hilang setelah konferensi pers KNPD di YLBH, Jakarta, 12 Maret 1998 9. Petrus Bima Anugerah: aktivis SMID. Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998 10. M Yusuf: guru, diculik di depan rumahnya di Jakarta pada 7 Mei 1998 11. Ucok Munandar Siahaan: Mahasiswa Perbanas, diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta 12. Yadin Muhidin: alumnus Sekolah Pelayaran, sempat ditahan Polres Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 14 Mei 1998 13. Hendra Hambali: siswa SMU, raib saat kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998 14. Abdun Nasser: kontraktor, hilang saat kerusuhan 14 Mei 1998, Jakarta (asy/)
2.      Pernyataan Resmi Departemen Pertahanan RI[10]
2.1 Latar belakang
a.    Adanya gerakan dan penonjolan sikap anarkis dan radikal yang digerakkan para aktivis radikal yang dapat mengganggu stabilitas keamanan menjelang pemilu 1997.
b.  PasukanKopassus yang berbeda dalam Bawah Kendali Operasi Kodam mendapat perintah lisan untuk mendapat penyelidikan.
c.    Mayor Inf. Bambang Kristiono dengan 10 orang anggota membentuk Tim Mawar   untuk melaksanakan tugas penyelidikan.

2.2 Kronologi peristiwa
a.    Atas inisiatif Tim Mawar mereka melakukan penangkapan terhadap 9 orang aktivis radikal.
b.   Setelah dilakukan klarifikasi terhadap 9 orang aktivis tersebut, 6 orang dipulangkan dan 3 orang yang terlibat peledakan bom diserahkan ke Mabes Polri.

 2.3 Proses Hukum
a.   Pimpinan ABRI tidak pernah memerintahkan penangkapan terhadap para aktivis radikal. Tim Mawar telah mengambil inisiatif sendiri dan melampaui batas wewenang serta bertindak diluar perintah.
b.    Atas kesalahan itu pimpinan ABRI mengambil tindakan komando dan hukum.
c.    Tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta Dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.
d.    Penanganan sesuai jalur hukum telah dilakukan terhadap 11 orang anggota Kopassus yang masuk dalam Tim Mawar. Terhadap 11 orang anggota tersebut, telah selesai disidangkan. Mereka dijatuhi hukuman penjara antara 1 tahun s/d 1 tahun 10 bulan dengan tambahan hukuman dipecat dari dinas tentara bagi 5 orang Perwira.
2.4 Kesimpulan
a.    Tim Mawar tidak menangkap selain 9 orang aktivis radikal tersebut, apalagi mereka yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan anarkis dan radikal.
b.    Para pelaku tindak pidana ini telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer sesuai ketentuan yang berlaku.
c.    Peristiwa ini pada dasarnya merupakan pelanggaran atas wewenang yang diberikan pimpinan.
d.  Peristiwa ini merupakan pelajaran kepada semua pihak pentingnya upaya penghargaan terhadap hukum.

TNI dan Polri sangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Peristiwa penculikan merupakan tantangan terberat bagi TNI dan Polri untuk meyakinkan masyarakat bahwa TNI dan Polri tetap setia memegang teguh komitmen tersebut.

3.      Mengusut Nurani Tim Mawar (Tempo)[11]
DARI mana datangnya instruksi penculikan para aktivis prodemokrasi? Boleh percaya boleh tidak: instruksi datang dari hati nurani Mayor Inf. Bambang Kristiono. Perwira Menengah (Pamen) Diperbantukan (pada) Komandan Jenderal Kopassus itu, beserta 10 anggota Grup IV Korps Baret Merah, sejak Rabu pekan lalu menjalani persidangan di Mahkamah Militer Tinggi II, Jakarta Timur. Di hari pertama itu para terdakwa mendengarkan dakwaan oditur militer Kol. CHK M. Harom Wijaya dan Kol. CHK Supratman. Materi dakwaan setebal 27 halaman itu berkisah tentang pembentukan sebuah satuan khusus oleh Mayor Bambang pada Juli 1997. Namanya Tim Mawar. Anggotanya, selain Bambang sebagai komandannya, terdiri atas 11 orang, yaitu Kapten Inf. F.S. Mustajab, Kapten Inf. Nugroho Sulistiobudi, Kapten Inf. Julius Stefanus, Kapten Inf. Untung Budiarto, Kapten Inf. Dadang Hindrayuda, Kapten Inf. Joko Budi Utomo, Kapten Inf. Fauka Nurfarid, Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto, dan Sertu Sukadi. Targetnya jelas: memburu dan menangkapi aktivis radikal. Latar belakangnya, kata terdakwa, karena terpanggil hati nurani untuk mengamankan kepentingan nasional. Sebab, dalam penilaian Bambang, demikian bunyi dakwaan itu, tindakan para aktivis tersebut akan mengganggu stabilitas nasional. Operasi itu dinyatakan amat rahasia, menggunakan metode hitam, dan dengan posko berdiri sendiri. Lalu, pendek kata, satu per satu target operasi diciduk, yaitu Andi Arief, Nezar Patria, Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, Faisol Resha, dan Raharjo Waluyojati. Dua korban penculikan, Andi Arief dan Pius Lustrilanang, memang mengenali para penculik itu. Pius, yang sedari awal sudah mengetahui bahwa para penculiknya adalah anggota Grup IV Kopassus, malah langsung mengenali sang komandan. "Saya tahu Bambang Kristiono. Dia salah satu penculik," katanya. Menurut Pius, Bambang adalah orang ketiga di Grup IV Kopassus, setelah komandan grup dan wakil komandan grup. Bambang sendiri adalah perwira operasi yang bertanggung jawab di lapangan. Cuma, ada yang aneh di ruang sidang. Misalnya menyangkut materi dakwaan yang menyebutkan bahwa pembentukan Tim Mawar adalah "berdasarkan hati nurani" Bambang?bukan "atas perintah atasan". Ini gaya lama. Selalu saja pengadilan militer di republik ini berupaya menyembunyikan "ikan kakap" dan memajukan "ikan teri". Andi Arief dan Pius mencurigai "dikorbankannya" Bambang itu sebagai upaya ABRI untuk melokalisasi sebuah operasi "rahasia" menjadi suatu "kerja liar oknum". Logika yang akan diajukan kira-kira begini: jika dibuktikan kelak ada "kerja liar" oknum Baret Merah, tentulah itu bukan hasil kebijakan institusi ABRI. Padahal, siapa pun masih ingat hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi ABRI: bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya. Anehnya, dakwaan di pengadilan bisa berbeda dengan hasil temuan DKP itu. Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., bahkan punya pendapat lebih jauh. Menurut dia, seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan. Karena itu, tidak ada alasan lain, Prabowo memang harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer. Logikanya, kata Syamsu lagi, tidak mungkin kesebelas anggota Kopassus itu melakukan operasi secara sendiri-sendiri, tanpa perintah komandannya, kecuali saat itu mereka adalah pasukan yang melakukan desersi. "Saat itu, mereka tidak desersi, sehingga sudah pasti ada yang memerintahkan mereka," Syamsu menegaskan lagi. Dan semuanya terlampau jelas jika dirunut dari hierarki komando di Kopassus. Saat itu, komandan satuan tugas operasi penculikan adalah Mayor Bambang. Atasan langsung Bambang adalah Kolonel Chairawan, yang secara langsung bertanggung jawab kepada Danjen Kopassus saat itu, Mayjen TNI Prabowo Subianto. Karaniya Dharmasaputra, Dwi Arjanto, Edy Budiyarso

4.      Dipecat, malah jadi Dandim[12]
Jakarta - Nama Tim Mawar selalu melekat bila kita memperingati Tragedi Mei 1998. Sebelum kerusuhan, 9 aktivis pro demokrasi diculik oleh pasukan elit TNI AD yang disebut Tim Mawar ini. Setelah 9 tahun berselang, bagaimana nasib mantan Tim Mawar? Cukup mengejutkan. Sebab, sebagian dari mereka saat ini malah menjabat sebagai Komandan Kodim (Dandim). Hal ini cukup aneh, sebab sebagian dari mereka sebenarnya divonis dipecat dari anggota TNI. Apakah vonis pemecatan itu tidak dilakukan Mabes TNI? Sejak kasus penculikan 9 aktivis pro demokrasi terungkap sembilan tahun lalu, tim yang di bawah kendali Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD ini dibubarkan. Sejumlah pejabat di satuan elit yang tidak seharum namanya ini dicopot dari jabatannya, belasan anggotanya dihukum penjara dan dipecat sebagai prajurit TNI. Kasus penculikan aktivis pro demokrasi, seperti Pius Lustrilanang, Desmon J Mahesa, Andi Arief, Faesol Reza, Haryanto Taslam, Raharjo Waluyo Jati, dan Nezar Patria membawa 11 orang prajurit Kopassus diadili melalui Mahmakah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta pada April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI. Mahmilti juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI. Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tapi tanpa dikenai pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi dikenai hukuman penjara 1 tahun. Enam perwira TNI yang dipecat itu kemudian mengajukan banding. Nah, hasil banding inilah yang hingga saat ini belum pernah diungkap ke publik. Hingga sekarang, Selasa (15/5/2007), tidak diketahui apa putusan pengadilan banding terhadap mereka. Apakah pengadilan banding menganulir putusan Mahmilti II Jakarta sehingga mereka batal dipecat atau malah mempertahankan vonis Mahmilti II, belum diketahui pasti. Yang jelas, saat ini para perwira Tim Mawar ini memiliki jabatan yang lumayan tinggi dengan pangkat letnan kolonel (Letkol). Rata-rata mereka menjabat Komandan Kodim (Dandim). FS Multhazar misalnya, saat ini menjabat Dandim 0719/Jepara dengan pangkat Letkol. Untung Budi Harto menjabat Dandim 1504/Ambon dengan pangkat Letkol. Sementara Dadang Hendra yang saat Mahmilti II hanya dikenai hukuman penjara tanpa dikenai pemecatan menjabat sebagai Dandim 0801/Pacitan dan Djaka Budi Utama sebagai Komandan Yonif (Dan Yon) 115/Macan Lauser. Kenaikan pangkat hingga menjadi letkol dan jabatan cukup penting yang mereka sandang saat ini perlu dipertanyakan. Terutama para perwira TNI yang saat itu dipecat dari kesatuan TNI. Mengapa mereka yang pernah mendapat hukuman penjara tetap diberi jabatan penting? (zal/asy)

 

5.      Profil Korban Penghilangan Paksa 1997-1998 [13]

Mereka yang sudah dibebaskan:
1.      Desmond Junaidi Mahesa, sarjana lulusan Fakultas Hukum, Universitas Lambang Mangkurat. Ia lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada tanggal 12 Desember 1965. Ketika diculik, dia adalah direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta, yang beralamat di Jalan Cililitan I no 11 Rt 07/08 Jakarta Timur. Dalam tugas kesehariannya lebih banyak mengurusi kasus-kasus hukum yang berkaitn dengan kebijkan pemerintah antara lain: penggusuran tanah, tegangan tinggi dan lain sebaginya. Selain aktif sebagai direktur LBHN dia juga anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), serta Forum Kebangsan Indonesia, yang bertujuan untuk mensupport “Lengser Keprabon Mandek Pandito” yang diucapkan oleh Bapak Soeharto. Ia kini menjadi pengacara profesional, dan menjadi pengacara konglomerat Eka Cipta Wijaya, serta pembela Tommy Winata dalam kasus penyerangan terhadap kantor Majalah Tempo.
2.      Aan Rusdianto, lelaki kelahiran 13 April 1974 di Purworejo, Jawa Tengah. Saat diculik ia sedang berada di Rumah Susun Klender, Jakarta Timur, dia berprofesi sebagai Pengurus Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kini ia aktif di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan beberapa lembaga kerakyatan lainnya.
3.       Faisol Reza, laki-laki yang berkaca mata dan lebih akrab dipanggil Riza, kelahiran 1 Januari 1973 di Probolinggo, Jawa Timur. Ketika diculik, ia adalah salah satu pimpinan PRD yang waktu itu beroperasi “dibawah tanah”. Setelah dibebaskan ia dipilih untuk menjabat sebagai ketua Partai Rakyat Demoratik (PRD) yang mengikuti Pemilu 1999. Jebolan berbagai pesantren ini sekarang aktif diberbagai organisasi politik alternatif.
4.      Andi Arief, sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, jurusan Ilmu Pemerintahan. Ia dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 20 November 1970. Ketika diculik di Lampung, ia adalah salah satu pentolah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kini ia sedang menekuni dunia bisnis dan politik, tinggal di Bandar Lampung.
5.      Nezar Patria, pria yang berkepribadian tenang, dan sering dipanggil dengan Nezar ini dilahirkan di Sigli, Aceh, pada tanggal 5 Oktober 1970. Ia adalah sarjana Filsafat, Universita Gajah Mada. Selama menjadi mahaiswa, aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan Jamaah Salahudin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM ( 1992-1996), dan terakhir dia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) tahun 1996. Ketika diculik, ia sedang bersama Aan Rusdianto di Rusun Klender. Sekarang ia menjadi wartawan Majalah Tempo.
6.      Pria yang bernama lengkap Raharja Waluya Jati ini akrab dipanggil Jati dan dilahirkan di Jepara, pada tanggal 24 Desember 1969. Ia diculik ketika sedang bersama Faisol Riza berjalan dari YLBHI di Cikini. Ketika diculik, ia adalah salah satu pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan tengah belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM). Sekarang ia menjadi Direktur Radio Voice of Human Rights.
7.      Mugiyanto, atau kerap di panggil Mugi, dilahirkan di Jepara pada tanggal 2 November 1973. Ketika diculik, ia adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Ia diculik beberapa saat setelah Aan Rusdianto dan Nezar Patria diambil dari Rusun Klender, Jakarta Timur. Saat itu, ia adalah salah satu pimpinan PRD yang mengurusi bidang internasional. Sekarang ia menjadi ketua organisasi para korban dan keluarga korban penghilangan paksa (penculikan), IKOHI.
8.      Pius Lustrilanang, lahir di Palembang 34 tahun yang lalu. Ketika diculik, ia adalah karyawan di ISAI (Institut Studi Arus Informasi), Aktivis Aldera (Aliansi Demokratik Rakyat) serta Sekertaris Jenderal Solidaritas untuk Amien dan Mega (SIAGA) bertempat tinggal di Bandung. Sekarang ia membentuk organisasi para militer atau laskar bernama BRIGASS (Brigade Siaga Satu)
9.      Haryanto Taslam, adalah aktifis DPP PDI yang punya jaringan ke grassroot PDI Megawati. Ia kemudian diculik dan beberapa bulan kemudian dibebaskan. Setelah dibebaskan, ia tidak mau memberikan kesaksian seperti yang lain. Ia kini menjadi anggota DPR dan Fungsionaris DPP PDI-P.
Mereka yang Masih hilang:
1.      Yani Afri, lelaki yang biasa di sapa Rian, bekerja sebagai sopir dan kelahiran Jakarta 26 April 1971, merupakan korban penculikan 1997, kasus dia diketahui setelah ada laporan dari orang tua korban yakni ibunya, yang bertempat tinggal di jalan dewa kembar RT 07/01 Jakarta Utara, selain sebagai sopir dia uga aktif sebagai anggota Parta Demokrasi Indonesia (PDI), Jakarta utara.
2.      Noval Al Katiri, dengan panggilan Noval sebagai pengusaha kelahiran 25 Mei 1967 dia sebagai direktur PT , pria yang bertempat tinggal di Jalan S no 20 Kebon Baru Tebet Jakarta Selatan adalah pendukung berat Mega-Bintang pada Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 1997.
3.      Dedy Umar, dengan sapaan akrab Hamdun, pria kelahiran Jakarta 29 Juli 1954, suami dari artis Eva Arnas. Selain berprofesi sebagai pengusaha yang beralamat di Jalan Kebon Nanas Selatan II/2 Jakarta Timur, dia aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
4.      Ismail, sopir dari Dedi Hamdun, yang lahir di Jakarta, dia diculik karena menurut pelaku, korban mengetahui tentang penculikan Dedy Hamdun dan Noval Al Katiri.
5.      Herman Hendrawan, pria kelahiran Pangkal pinang 29 Mei 1971 adalah mahasiswa pada sebuah Universitas Negeri di Surabaya (Unair). Mahasiswa yang tinggal di Karang Tengah, Ciledug sementara orang tuanya sendiri tinggal di Pangkal Pinang, Bangka juga pada kegiatan-kegatan yang siftanya politis, hal itu terlihat dengan aktifnya dia bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD)
6.      Petrus Bima Anugerah, pria kelahiran Malang 24 September 1973 selain sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Jakarta, juga aktif dalam beberapa kegiatan politik seperti di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) sebagai pengurus pusat dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
7.      Suyat, lelaki kelahiran 1 Oktober 1975 di Sragen, Jawa Tengah. Selain sebagai mahasiswa fakultas sosial dan politik di Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, dia aktif dalam kegiatan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
8.      Yadin Muhidin, pria yang lahir di Jakarta 11 September 1976, setelah lulus Sekolah pelayaran langsung mengikuti beberapa ujian untuk masuk kerja di pelayaran. Bertempat tinggal di Jalan Baru Selatan Jakarta Utara ini bukanlah pemuda yang aktif dengan kegiatan-kegiatan politik. Kesehariannya di isi dengan aktifitasnya berkumpul sama-sama dengan teman-teman di sekitar rumahnya. Kalaupun aktif biasanya hanya pada acara-acara besar seperti buka puasa bersama di bulan Ramadhan dengan teman-teman Musholla di dekat rumahnya.
9.      Hendra Hambali, pelajar Sekolah Menengah Atas lahir Jakarta.
10.  Ucok M Siahaan, mahasiswa Perbanas, kelahiran Jakarta, 17 Mei 1976, beralamat di Jalan Taufiq Rahman 47 Beji Timur Depok. Aktifitasnya tidak begitu diketahui oleh pihak keluarganya selain sebagai seorang mahasiswa apalagi untuk ikut politik-politikan. Pada tanggal 12 Mei 1998 sebelum lengsernya Soeharto, Ucok sempat mengatakan kepada Ibunya bahwa sebentar lagi Soeharto lengser.
11.  M. Yusuf, pria yang sering dipanggil Yusuf, dia berprofesi sebagai guru, kelahiran Jakarta 18 September 1969, beralamat di Jalan Raden Saleh II/1 no 7 Jakarta Pusat.
12.  Sonny, selain aktifitasnya setiap hari sebagai seorang supir ternyata dia juga aktif dalam perpolitikan yaitu fungsionaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Jakarta Utara.
13.  Wiji Thukul, yang kerap dipanggil teman-temannya dengan Wiji Tukul, lahir di Surakarta, 03 November 1967, sebagai anak dari tukang becak di kampung kumuh Sorogenen. Seorang penulis puisi revolusioner yang juga seorang organizer rakyat yang militan, hampir semua karya puisinya berisi protes tajam terhadap kediktatoran rezim orde baru. Dan salah satu puisinya yang berjudul "Peringatan" yang dalam satu baitnya tertulis: …maka hanya ada satu kata: lawan!!!, yang diteriakkan setiap aksi aksi rkyat Indonesia. selain menciptakan karya-karya puisi dia juga menciptakan lukisan cukil kayu. Lelaki yang juga aktif di JAKKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat ) yang termasuk underbouw Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Yang ditemukan meninggal:
1.      Leonardus Gilang
Seorang aktifis pengamen jalanan yang sering terlibat aksi mahasiswa di Jogja dan Solo. Gilang hilang pada bulan April 1998 di Solo, dan ditemukan 3 hari kemudian di Magetan Jawa Timur dalam keadaan meninggal dengan luka-luka tembakan di tubuhnya.

6.      Kesaksian Nezar Patria[14]
6.1 Pengantar
Saya Nezar Patria. Dilahirkan di Sigli, DI Aceh , pada 5 Oktober 1970. Saya lulus dari Fakultas Filsafat UGM pada Agustus 1997. Selama menjadi mahasiswa saya aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Jamaah Shalahuddin UGM (1990-1991), Biro Pers Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (1992-1996) dan terakhir sebagai Sekretaris Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada 1996. Keterlibatan saya di SMID dimotivasi oleh realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia yang sangat jauh dari standar negara modern yang demokratis. Perlakuan politik Orde Baru yang penuh dengan penindasan hak azasi manusia, ketidakadilan politik dan ekonomi membuat saya mengambil sikap yang kritis terhadap praktik kediktatoran Orde Baru. Lewat kelompok-kelompok diskusi mahasiswa yang intensif dan melelahkan namun tak merubah keadaan, akhirnya saya memutuskan untuk aktif dalam aksi-aksi protes mahasiswa dan advokasi kasus-kasus rakyat yang hak-haknya dirampas, ditindas secara ekonomi dan politik oleh Rezim Orde Baru.
Agaknya sudah menjadi takdir bagi seluruh aktivis prodemokrasi yang berjuang melawan politik kediktatoran Orde Baru untuk bersiap menghadapi penjara, intimidasi, teror dan berbagai bentuk penindasan lain yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Salah satunya adalah apa yang saya alami pada 13 Maret 1998, dua hari setelah Sidang Umum 1988 yang penuh kepalsuan, menjelang bangkitnya gemuruh perlawanan rakyat yang mengakhiri episode kediktatoran Orde Baru.
           
            6.2 Tamu Tak Dikenal pada Jumat Malam, 13 Maret 1998
Saya dan tiga orang kawan lainnya (Mugiyanto, Bimo Petrus dan Aan Rusdianto) tinggal di Rumah Susun Klender. Kami adalah penghuni baru disana, baru sekitar sepuluh hari. Tepatnya mulai 28 Februari 1998. Kami semua adalah anggota SMID, yang setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hidup dalam perburuan aparat kediktatoran Orde Baru. Setelah gagal menuding PRD sebagai "dalang" peristiwa 27 Juli 1996 itu, kediktatoran tetap mempersalahkan PRD sebagai organisasi yang tidak sah karena tidak menggunakan Pancasila sebagai asas, melainkan Sosial-Demokrasi Kerakyatan. Walaupun tak ada maksud sedikitpun dari PRD untuk anti Pancasila--justru memberikan tekanan khusus dari orientasi nilai Pancasila pada azas Sosial-Demokrasi Kerakyatan, namun kediktatoran tetap saja memenjarakan para pimpinan PRD serta setahun kemudian melarang PRD dan juga SMID sebagai salah satu organisasi yang berafiliasi dengannya. Dalam kondisi seperti itu, kami para anggota SMID tetap bergerak walau dalam kondisi yang sangat terbatas. Sebagian besar anggota kami kembali ke kampus dan yang lainnya dengan setia masuk ke basis-basis komunitas rakyat yang tertindas.
Pada 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 saya baru pulang dari Depok. Saya adalah orang yang pertama pulang pada malam itu. Rumah ini memang sepi kalau siang hari. Kami rata-rata punya aktivitas di luar rumah penuh seharian. Bukan cuma aktivitas yang berkaitan dengan politik (kami tetap menjaga kontak dengan komunitas mahasiswa dan sektor rakyat lainnya dalam rangka pengorganisiran), namun juga melakukan pekerjaan untuk dukungan finansial (menterjemahkan dan menulis artikel). Sepuluh menit kemudian, Aan pulang. Kami menjerang air untuk membuat minuman. Saat itulah terdengar pintu diketuk oleh orang.
Aan membuka pintu. Empat orang bertubuh tegap dan menggunakan penutup kepala dari wol berdiri di depan pintu. Aan memanggil saya yang masih berada di dapur, karena tamu itu tak dikenal olehnya. Saya melihat salah seorang langsung masuk ke dalam dan memegang lengan Aan. Saya bertanya mereka siapa dan ada keperluan apa. Jawabannya adalah sebuah bentakan "Jangan banyak tanya, mari ikut kami!". Aan dicengkeram oleh dua orang yang langsung menggiringnya keluar. Demikian juga saya. Saya mencoba meronta, tapi seseorang mengapit di sebelah kanan saya langsung mencabut pistol jenis semi otomatis. Ia berjaket hitam, bercelana jins, dan menggunakan penutup kepala (seperti topi wol pendaki gunung warna hijau). Pistol itu ditodongkan ke perut saya. Sementara, seseorang yang mengapit di sebelah kiri saya (tak sempat saya identifikasi ciri-cirinya) langsung memborgol kedua tangan saya. Mereka menggiring kami dengan paksa menuruni tangga rumah susun (rumah kami di lantai dua). Mereka bekerja begitu cepat. Tak sampai semenit kami sudah dimasukkan ke dalam sebuah mobil Jip yang telah menungu diluar. Saya juga sempat melihat mobil jip lainnya, kelihatannya juga satu kelompok dengan mereka, parkir persis di belakang mobil yang kami dipaksa naik ke dalamnya.
Di dalam mobil, mata saya dan Aan langsung ditutup dengan kain hitam dan ditambah lagi dengan penutup kepala dari wol hitam. Kami berdua duduk di tengah. Sementara di kedua sisi diapit oleh dua orang. Masing-masing tangan kami diborgol bergandengan. Tangan kanan saya dengan tangan kiri Aan diborgol jadi satu, sementara kedua tangan kami yang lainnya diborgol bersama dengan tangan orang-orang tak dikenal itu. Mobil itu ber-AC. Sebelum mata saya ditutup, saya sempat melihat dua orang duduk di depan, seorang berfungsi sebagai supir dan seorang lagi duduk disampingnya. Mobil langsung meluncur dengan kecepatan tinggi. Semua kaca mobil tertutup rapat. Musik diputar cukup keras, sehingga saya tak mendengar suara bising lalu lintas di sepanjang perjalanan. Di dalam Jip itu seseorang menanyakan nama saya dan apa aktivitas saya selama ini. Setelah saya menyebut nama dan kegiatan saya, seseorang menyela "Aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!". Tak ada percakapan lagi setelah itu. Saya berpikir keras menduga siapa yang menangkap saya. Jelas, mereka bukan orang biasa. Mereka cukup profesional dan sikapnya keras serta dingin. Saya berdoa dan berdzikir, Saya tak bisa menerka arah dan jalur mana yang ditempuh oleh mereka. Namun, saya mencermati selama perjalanan itu, kaset musik sempat berganti side. Jadi kurang lebih satu jam. Setelah itu saya merasa mobil berhenti di satu tempat, dan terdengar seseorang melakukan komunikasi dengan radio. Terdengar tanda panggil "Merpati, Merpati!" Namun saya tak mendengar balasannya. Kelihatannya mereka telah tiba di tempat tujuan, dan sedang menunggu konfirmasi izin untuk masuk. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, mobil meluncur ke sebuah bangunan. Saya dan Aan diturunkan dengan mata tertutup dan tangan terborgol. Kaki saya yang telanjang terasa menginjak rumput, lalu tanah berpasir dan kemudian lantai tegel. Kami digiring masuk ke sebuah ruangan.

6.3 Suara Sepatu Lars yang Berderap-Derap
Ketika masuk ke dalam ruangan yang ber-AC itu, kami langsung dipisah, walaupun masih dalam satu ruangan. Saya merasa banyak orang yang berada dalam ruangan tersebut mengelilingi saya dan juga Aan. Celana saya dibuka dengan paksa sehingga tinggal celana dalam dan baju kaos saja. Saya langsung didudukan pada sebuah kursi lipat, borgol dibuka namun sebelah tangan saya diborgol pada besi kursi. Saya merasa berhadapan dengan sebuah meja dan ada seseorang diseberang sana melontarkan pertanyaan dengan cukup keras "Sebagai Sekjen SMID kamu pasti tahu dimana Andi Arief. Katakan segera dimana dia sekarang!". Saya menjawab, tidak tahu persis dimna Andi Arief berada, karena saya bertemu terakhir dengan dia di Yogyakarta sekitar setengah tahun sebelumnya. Mendengar jawaban itu mereka segera menghajar saya. "Bangsat, pembohong!" kata salah seorang. Lalu saya merasakan sebuah pukulan keras di rahang saya dan diikuti dengan puluhan pukulan lain. Mereka mengulangi pertanyaannya, dan saya jawab tidak tahu. Lalu saya mendengar ada suara perintah untuk mengambil alat setrum. Sebuah benda terasa menempel di betis dan paha saya, dan sebuah aliran listrik yang cukup kuat menyentak seluruh sendi tubuh saya. Saya berteriak "Allahu akbar!" sambil menahan rasa sakit yang luar biasa. Aliran listrik itu menyerang bertubi-tubi, sehingga tubuh dan kursi yang saya duduki bergeletar. Saya merasa sebuah tendangan keras menghantam dada saya hingga saya terjengkang ke belakang dan kursi lipat tempat saya duduk jadi ringsek.. Setelah mengganti kursi yang lebih kuat, mereka kembali mengulang pertanyaan tersebut. Saya dalam keadaan setengah sadar, lalu mengatakan bahwa Andi Arief berada di Lampung. Tempat persisinya saya tidak tahu, mungkin saja di rumah orang tuanya.
Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali. Mereka menanyakan apakah saya mengenal Waluyo Djati, Faisol Reza, dan Herman. Mereka juga menanyakan apakah saya mengenal Desmond dan Pius. Saya juga disuruh menceritakan apa saja aktivitas mereka. Lalu mereka menanyakan apakah saya pernah bertemu dengan Megawati dan Amien Rais. Dan apakah PRD atau SMID pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi. Saya menjawab tidak pernah bertemu dengan ketiga orang tokoh tersebut. Secara politik PRD memang mendukung Amien Rais dan Megawati . Namun PRD atau SMID tak pernah menerima dana dari Sofjan Wanandi, dan saya jelaskan secara politik posisi kepentingan PRD dan Sofyan Wanandi sangat berseberangan. Jadi, tak mungkin kami mau berhubungan dengan dia apalagi menerima bantuan dari dia. Setelah pertanyaan ini sejenak mereka menghentikan penyiksaannya terhadap saya.
Samar-samar saya mendengar Aan yang sedang ditanyai oleh sejumlah orang. Posisi dia tak jauh dari saya dan kami masih berada dalam satu ruangan. Tak lama kemudian suasana menjadi sepi dan hening. Dan saya kaget ketika terdengar langkah-langkah sepatu yang baru saja masuk. Lalu, saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan seseorang yang juga sedang disiksa dan diinterogasi di ruang yang sama. Saya mengenal persis suara itu sebagai suara Mugiyanto.
Kemudian kami bertiga diberi makan nasi bungkus dengan lauk ikan. Selama makan kami tetap di velbed dengan posisi duduk serta tangan kiri terborgol dan mata tertutup. Selesai makan pertanyaan berlanjut tentang riwayat hidup saya dan pengalaman aktivitas politik saya. Sepanjang malam itu sampai dengan subuh kami tetap terus disetrum dan diteror dengan suara alarm yang sangat memekakkan (bunyinya mirip dengan alarm mobil). AC dihidupkan dengan sangat kencang, sehingga tubuh saya yang setengah telanjang menggigil. Lalu seorang petugas datang mendekat memeriksa tubuh saya (kelihatannya tenaga medis) dan lewat suaranya samar-samar saya dengar bahwa ia melarang untuk menyetrum daerah perut dan dada. Lalu saya dan kawan-kawan dipakaikan kembali celana panjang kami. Kami tak bisa tidur sampai pagi hari, sampai para petugas penjaga berganti regu. Karena mata tertutup kami sepertinya kehilangan orientasi waktu. Petugas yang baru masuk juga mengulangi pertanyaan seperti regu sebelumnya. Siksaan terus kami alami sepanjang hari.
Saya berpikir dan coba menduga siapa mereka. Namun sangat sulit, karena mereka tak penrnah menyapa sesamanya dengan panggilan nama. Ruangan itu juga kedap suara. Namun, pada pagi hari itu terdengar samar-samar suara derap sepatu lars di luar. Saya menduga karena pintu agak terbuka sedikit, sehingga suara-suara di luar merambat ke dalam ruangan X itu. Kedengarannya seperti sekelompok serdadu yang sedang senam militer dan berlari-lari kecil secara serempak. Juga terdengar mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat serta yel-yel yang tak jelas benar kata-katanya.
Keesokannya (hari kedua) posisi kami masih tetap di velbed dan masih dalam ruangan tersebut. Pagi-pagi saya ditanyai tentang biodata. Saya kemudian dipaksa untuk mencari cara menangkap Andi Arief, dengan menanyakan watak, kebiasaan dan tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh Andi. Saya tak dapat menjawabnya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Saya disetrum lagi dan dipukuli. Saya juga ditanya tentang struktur PRD setelah Budiman Sujatmiko, Ketua PRD, di penjara. Mereka juga menyakan jaringan gerakan prodemokrasi yang lainnya.
Kemudian para interogator itu menanyakan program politik PRD saat ini. Dan juga mereka menanyakan tentang kenapa PRD mendukung referendum bagi rakyat Timor-timur. Saya menjawab, bahwa persoalan Timor-timur telah menjadi bumerang yang merugikan citra bangsa Indonesia di pergaulan internasional. Selain itu, perang yang berkepanjangan telah membawa banyak korban baik dari serdadu Indonesia maupun juga rakyat Timor-timur. Referendum adalah jalan yang adil dan demokratis bagi Timor-timur untuk menentukan sikap. Terjadi "diskusi" disini antara kami bertiga dan para interogator. Mereka mengaku cukup lama bertugas di Timor-timur dan juga Aceh. Untuk beberapa jam tidak ada siksaan yang kami alami selama "diskusi " tersebut.
Saya minta izin untuk ke toilet karena ingin buang air kecil. Mereka kemudian melepaskan borgol saya, dan dengan mata tertutup lalu sebelah tangan saya diborgol ke tangan seorang petugas yang mengantarkan saya ke toilet. Saya berjalan melintasi ruang ber-AC tersebut dan begitu keluar menuju toilet saya kembali mendengar suara sepatu lars yang sedang berdarap-derap serempak. Kali ini lebih jelas suara itu berasal dari mereka yang sedang latihan berlari-lari kecil dan serempak. Namun saya tak tahu lagu apa yang dinyanyikan dan juga bunyi yel-yel yang mereka teriakkan.
Setelah makan pagi , kami ditanyai lagi oleh kelompok petugas yang berbeda. Siksaan berupa setrum dan pukulan serta tendangan kembali saya rasakan. Bahkan ketika mereka minta saya menyebut secara persis alamat teman-teman Andi Arief di Lampung, mereka memposisikan velbed saya secara terbalik. Kepala saya di bawah sementara kaki di atas, dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Seseorang bahkan membungkam mulut saya dengan tumit sepatu sampai bibir saya pecah, karena saya berteriak keras "Allahu akbar" ketika aliran listrik itu begitu gencar seperti meluluhlantakkan sendi-sendi tulang saya. Sampai dengan malam hari terus-menerus terjadi interograsi. Terkadang pertanyaannnya mengulang-ulang dan kadangkala pertanyaan diajukan berdasarkan data yang didapat dari kedua kawan yang lain.
Besoknya, (tanggal 15/3) saya digiring ke toilet oleh dua orang petugas. Mata saya tetap tertutup dan kedua tangan terborgol. Mereka membuka borgol dan kedua mata saya ketika berada di toilet. Saya melihat dua orang petugas itu memakai topeng dari wol hitam. Hanya matanya saja yang terlihat. Saya dipotret di sana dengan kamera otomatis langsung jadi. Toilet itu kelihatan bersih, ada wastafel dan cermin. Keramiknya warna biru muda dan lantainya warna merah bata. Dinding warna krem. Setelah selesai mata saya kembali ditutup, sebelumnya saya dizinkan cuci muka. Saya kembali ke ruangan semula dimana saya dibaringkan kembali ke velbed. Lalu seorang petugas mengatakan bahwa kami bertiga sebenarnya bukan target mereka, dan karena itu kami akan dibawa ke suatu tempat. Namun walaupun begitu mereka akan tetap mengawasi kami dimanapun kami berada, dan adalah persoalan yang gampang untuk menyelesaikan kami bertiga jika kami membuat ulah yang tak menyenangkan mereka.

6.4 Menuju Polda Metro Jaya
Sekitar tengah hari, lalu kami di bawa ke suatu tempat. Masing-masing kami diangkut dengan satu mobil. Saya dibawa dengan mobil Jip jenis Jimni. Perjalanan sekitar 1,5 jam, sebelum akhirnya saya tiba di sebuah tempat. Dalam perjalanan mata saya tetap ditutup dan tangan diborgol ke belakang. Kami kemudian dibawa turun dan berjalan memasuki sebuah gedung. Saya merasa menaiki anak tangga untuk bangunan bertingkat. Sampai di sebuah ruangan mata saya dan borgol dibuka. Saya melihat ada sejumlah petugas berpakaian preman dan menggunakan HT berada di depan saya. Saya lalu dipersilahkan duduk dan diberi makan. Ruangan itu cuma 2x2 M dan di pintu saya sempat melihat tulisan dari karton putih yang di tempelkan di daun pintu. Kalau tak salah ingat bunyi tulisan tersebut adalah "Koladaops 05". Seorang petugas lalu melakukan proses verbal terhadap saya melalui pertanyaan-pertanyaan seperti layaknya berkas acara pemeriksaan (BAP). Saya juga disuruh menandatangani sebuah surat (surat penangkapan?) yang kopnya telah dihapus. Jadi saya tak tahu institusi formal mana yang melakukan proses verbal tersebut.
Tak lama kemudian, mata saya ditutup lagi. Kelihatannya ada petugas lain yang menjemput. Kami bertiga lalu dinaikkan ke sebuah mobil Kijang . Mobil itu membawa kami ke suatu tempat, yang setelah sampai disana kami ketahui sebgai Polda Metro Jaya. Mata kami dibuka, borgol juga dilepas. Lalu kami dibawa ke sebuah ruang dan diperiksa. Setelah itu menandatangai surat penahanan dengan dugaan bahwa kami melakukan tindak pidana Subversi. Sebelum mendapat penangguhan penahanan, kami ditahan dan diisolasi (1sel untuk 1 orang) selama lebih kurang tiga bulan. Selama dalam tahanan Polda Metro Jaya kami sempat dipanggil oleh tiga orang perwira dari Puspom ABRI. Mereka menanyakan proses penangkapan kami oleh orang-orang tak dikenal itu.

7.      Kesaksian Aan Rusdianto[15]
Perkenalkan, namaku Aan Rusdianto, umur 24 tahun, laki-laki. Tentang kronologi penculikan dan penahanan sebagian sudah ditulis oleh sohib saya Nezar Patria. Jadi kesaksian saya berikut sebagai pelengkap. Karena aku dan Nezar "diambil" bareng, menyusul Mugiyanto. Mungkin ada beberapa hal yang yang belum ditulis oleh Nezar, yakni soal data-data tambahan identifikasi pelaku penculikan dan pengalaman pribadiku selama 2 hari di tempat X. Pada hari Jumat malam, tanggal 13 Maret 1998 aku dan Nezar dibawa ke sebuah tempat. Sesampainya di tempat setelah diturunkan dari mobil tangan kami yang diborgol jadi satu dipisah. Kemudian aku didudukkan di kursi lipat kedua tangan diborgolke kursi. Langsung kami disambut pertanyaan tentang siapa aku, apa aktifitas selama ini, dan di mana Andi Arif, seiring dengan pukulan tangan, tendangan, dan setruman kesekujur tubuhku bila mulutku menjawab tidak tahu. Yang bisa kujawab: "Aan Rusdianto, selama ini di Semarang, sebagai anggota SMID, saya tidak tahu di mana Andi Arif berada."
Dua hari dua malam itu adalah waktu penuh ketegangan dan siksaan. Dalam benak selalu muncul apa yang selanjutnya akan terjadi. Malam pertama, tiga puluh menit setelah didudukkan di kursi, kami (aku dan Nezar) ditidurkan di tempat tidur lipat Kedua kaki dan tangan diikat dengan borgol dan tali rafiah. Kami dimasukkan ke sebuah ruangan besar semacam aula.
Kembali pertanyaan diulang. Di mana Andi Arif, apa aktifitas politik selama ini, data pribadi dan keluarga. Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, memakasaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Nezar, aku, dan Mugiyanto (datang 2 jam setelah aku dan Nezar) tidak kuasa menjawab pertanyaan mereka. Apa aktifitas politik PRD setelah 27 Juli, apa keterlibatanku di PRD. Bahkan kemaluanku sempat disetrum beberapa kali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Hari kedua siksaan tidak seberat hari pertama. Ikatan tinggal di satu tangan. Bila mau kencing dan berak minta ijin , kemudian diantar 2 orang. Dalam suasana hening ruangan ber AC itu--setelah masa teriakan dan erangan kami bersaut-sautan--pikiran dan benak hatiku justru berkecamuk hebat : Apa yang kemudian akan aku alami. Apalagi teringat nama Pius dan Desmon yang belum kembali. Bila pagi dan sore terdengar ada sekelompok orang di luar ruangan berlari-lari dalam derap-derap sepatu serentak, diiringi nyanyian-nyanyian lantang dan tegas, kadang bersahut-sahutan. Kadang pula terdengar suara pesawat terbang rendah entah berapa kaki. Sempat pula kami bertiga di jejer dan ruangan dibersihkan dan dirapikan. Aku menduga akan datang seorang petinggi mereka. Aku nggak tahu petinggi itu datang apa nggak. Kemudian kami diskusi dengan mereka tentang Timor-Timur, Aceh, dan situasi politik yang berkembang. Kesan yang kutangkap mereka menguasai soal-Timor-Timur dan Aceh. Soal situasi politik Indonesia kita berdiskusi tentang krisis ekonomi dan usaha-usaha penanggulangan krisis ekonomi yang sedang dilakukan pemerintah.
Kemudian, hari Minggu pagi kami dibawa kesebuah tempat dengan dipisah. Jadi ada tiga mobil. Yang sempat kulihat, mobil di depanku yang membawa Nezar/Mugi adalah jenis Kijang warna abu-abu dengan nomor polisi B 1907 YH. Di tempat kedua itu diintrograsi tertulis, mata terbuka, di sebuah ruangan ukuran dua kali tiga meter. Di pintu tertulis Pabung Marinir. Saat Ke WC saya sempat melihat dua orang petugas piket bercelana hijau, berkaos hijau dengan gambar di belakang kaos : kepala Gajahmada. Di tempat ini dan kemudian di Polda Metro Jaya aku tidak ada penyiksaan.
Setelah 3 jam dari tempat tersebut kami dibawa ke Polda dan langsung diintrograsi.

8.      Kesaksian Raharja Waluya Jati
            8.1 Penculikan dan Penganiayaan
                   Kamis, 12 Maret 1998
Pada kurang lebih pukul 12.00 WIB aku datang ke YLBHI Jl. Diponegoro 74 untuk menyaksikan Konperensi Pers dari kawan-kawan KNPD. Ketika waktu menunjukkan antara pukul 14.00 -14.30, kami (aku dan Faizal Reza) pamit kepada kawan-kawan untuk makan siang di seputar RS.Cipto Mangunkusumo. Ditengah perjalanan, kami merasa diikuti oleh orang-orang yang mencurigakan sehingga niat kami makan kami urungkan, kemudian kami menyeberang menuju Unit Gawat Darurat RSCM sambil berlari kami naik ke lantai II yang ternyata buntu. Ketika aku mau turun, diujung tangga kulihat Faizal Reza telah ditelikung dan dipukul oleh dua orang berbadan tegap dan besar, kemudian aku menyelinap ke WC tetapi tidak berapa lama telah digedor oleh seseorang yang mengancam akan menembakku, begitu aku keluar mereka menyambut dengan pukulan kearah perutku dan menggelandangku turun kebawah sambil terus memukuli. Sampai di pelataran parkir aku masih sempat berteriak keras untuk minta dipanggilkan pengacara, hal ini membuat mereka memukul ulu hati dan membungkam mulutku hingga kacamataku jatuh pecah.
Aku dinaikkan ke sebuah kendaraan Jeep yang sempat kulihat berwarna merah dengan kap putih, kemudian mataku ditutup kain hitam dengan tangan diborgol kebelakang dan didudukkan dibawah. Selama perjalanan mereka katakan bahwa mereka tidak salah tangkap karena telah mengamatiku sejak lama dan mereka akan gunakan aku untuk menunjukkan dimana Andi Arief berada. Kurang lebih setengah jam sampailah aku pada suatu tempat, aku dibawa masuk di sebuah bangunan ( aku merasakan jarak antara mobil berhenti dengan bangunan dimana aku dibawa tidak terlau jauh, hanya beberapa meter ).

            8.2  Interogasi dan Penyiksaan
                    Hari ke I hingga kira-kira Hari ke IV
Sore itu juga aku dimasukan ke sebuah ruangan yang aku perkirakan cukup luas sebab teriakan-teriakan pertanyaan mereka kudengar menggema di ruangan, sambil memukul mereka bertanya tentang dimana Andi Arief berada, setiap aku jawab aku tidak mengetahuinya maka, pukulan yang datang semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya aku dibawah ke sebuah ruang yang mereka sebut ruang eksekusi, aku dinaikkan keatas kursi dan leherku dijerat dengan seutas tali, pertanyaan tentang dimana Andi Arief aku jawab sama, karena aku memang tidak tahu persis dimana dia berada, tali yang menjerat leherku ditarik ke atas sehingga aku tercekik hingga aku tidak bisa bernafas sampai beberapa detik, dan leherku terasa sakit selama beberapa hari (susah untuk menelan). Tapi hal tersebut kemudian dihentikan karena aku sempat mendengar omongan mereka agar aku diturunkan dengan alasan terlalu enak bagiku bila terlau cepat mati.
Selanjutnya aku dibawa masuk ke sebuah ruang lain dan didudukkan di sebuah kursi lipat dengan tangan terikat ke belakang, di depanku duduk seseorang yang meng-interogasi-ku. Setiap pertanyaan selalu diikuti dengan penganiayaan dengan memukul baik dengan tangan maupun dengan kursi lipat, bahkan aku sempat terjatuh dari kursi kemudian mulut dan perutku dinjak-injak. Nampaknya mereka sudah tidak memiliki rasa iba sedikitpun bahkan tendangan-tendangan yang mengarah ke tulang kering sering kudapatkan juga di bahu dan punggungku. Sundutan rokok pun mulai mereka lakukan baik dipunggung maupun ditanganku, satu siksaan yang hingga sekarang membuatkan trauma terhadap listrik adalah penyetruman dengan tongkat yang dialiri listrik hal tersebut dilakukan berulang-ulang dibagian-bagian badanku (ujung jari kaki, kaki sampai pangkal paha, perut, dada, tangan dan leher bagian belakang). Selama itu aku selalu dalam posisi duduk dengan interval istirahat hanya 1 sampai 2 jam untuk makan dan ke WC, secara phisik aku sangat menderita bahkan sampai tidak mampu lagi merasakan rasa sakit dan secara mental aku mengalami penurunan pada titik yang paling bawah. Aku sempat tiga kali dibuka tutup mataku, untuk difoto dan diminta mengenali foto dua orang kawanku, kesempatan yang lain adalah saat menulis biodata yang tidak pernah selesai, karena terlalu capek dan jadi kacau. Namun selama mata terbuka tetap saja aku tidak pernah melihat wajah-wajah mereka karena mereka mengenakan tutup muka dan kepala ala ninja.
Pernah dalam interograsi, salah seorang dari mereka menanyakan sebuah tempat di gang Salon, di kawasan Cilincing. Dimana waktu itu aku datang bersama Herman dan Reza. Aku sudah lupa kejadian dan lokasi tersebut. Tapi kemudian orang itu mengaku bahwa dia yang waktu itu menanyakan pada kami apakah kontraknya masih diteruskan, karena Suyat jarang sekali datang ke rumah itu. Dengan detil dia menyebut kapan kami datang dan jam kami pergi dari tempat itu. Kemudian dia mengaku kenal dengan Suyat dan orang yang mengontrakkan rumah itu. Dia juga mengaku bahwa dialah yang mengambil Suyat di Solo beberapa waktu lalu. Sedangkan rumah tersebut adalah rumah yang dicarikan dan dikontrakkan oleh Munif Laredo, karena dia tidak mau memberikan bantuan dalam bentuk uang.
Hal ini menarik perhatianku, karena sehari sebelum penculikanku sudah muncul dalam analisaku terhadap peristiwa penguntitan tersebut, berhubungan dengan keberadaan Munif (mantan Ketua SMID) selama + 1 minggu secara intensif di YLBHI. Kenapa aku mempunyai analisa seperti itu, karena pada 11 Maret 1998 Munif terlihat sekali menunggui kepulanganku. Dan begitu aku keluar dari kantor YLBHI, Munif juga segera bergegas keluar dari YLBHI dan ketika sampai halte Megaria di Jl. Diponegoro, aku diikuti oleh 2 orang, namun aku berhasil lolos dan masuk kembali ke YLBHI. Aku segera mengaitkan analisaku tersebut dengan pengakuan orang (saat aku masih disekap) yang mengambil Suyat, dan kejanggalan-kejanggalan di tempat yang dikontrakkan oleh Munif.
Hari ke IV hingga Hari ke VI
Aku dipindahkan ke sebuah ruangan yang dilengkapi dengan kasur busa dan kipas angin, aku diperkenankan tiduran dengan tangan satu tetap terikat dikursi dan mata selalu ditutup dengan kain gelap. Kegiatan interogasi mulai agak mengendor dan mereka mulai bersikap agak lunak sesekali memberikan nasehat agar tidak melakukan kegiatan politik lagi.
Pada hari ke V akau dibawa masuk kesebuah ruang mirip ruang ceramah, ruangan tersebut cukup luas dan sangat dingin. Aku di tanya oleh seseorang yang menurutku dari cara bertanya dan bobot pertanyaannya nampaknya merupakan salah seorang pimpinan dari kelompok penculik tersebut.
Selama hari-hari itu (masih di ruang atas) aku sempat mendengar suara yang aku kenal sebagai suara Herman Hendrawan serta sayup kudengar suara satu lagi yang kemungkinan besar adalah suara Nezar Patria.
Setelah itu aku dibawa ke sebuah ruangan dan seluruh pakaianku dilepas hingga telanjang bulat dan dipaksa tidur tengkurap diatas balok es selama kurang lebih 10 - 15 menit sambil menanyakan kepadaku bagaimana cara menemukan Andi Arief, dalam situasi yang sangat tertekan aku sempat berpikir sedemikian profesional cara-cara mereka melaksanakan tekanan kepadaku baik secara phisik maupun mental.
Selesai melakukan penyiksaan yang nyaris membuat aku beku mereka masih sempat memukulku beberapa kali, katanya untuk melancarkan peredaran darah. Kemudian dengan mata tertutup aku dibawa kesebuah ruangan yang kurasakan adalah menurun karena melewati beberapa anak tangga. Nampaknya aku mulai dipindahkan kesebuah ruang lain yang senyap namun saat aku dibawa turun ada bunyi dengungan yang cukup keras, belakangan kuketahui suara itu berasal dari radio yang sudah habis waktu siar namun tidak dimatikan dan dihidupkan dengan volume yang amat keras.
Hari ke VII hingga Rabu, 1 April 1998
Kehidupan di ruang bawah tanah
Setelah pindah di ruang bawah aku mulai merasakan berbeda karena ada suara radio dan suara mereka yang menempati sel lain, lalu kami saling memanggil walau tanpa bisa saling menatap. Saat-saat radio mati, antara pukul 02.00 dinihari sampai 05.00 pagi, merupakan kesempatan kami saling berkomunikasi dan siaran radio juga memberikan gambaran tentang hari, tanggal dan bulan.
Selama di bawah aku sempat dibawa naik ke atas lima (5) kali, materi pertanyaannya seputar Andi Arief dan sekali diantaranya sempat dihadiri banyak orang (aku merasakannya dengan mata tertutup). Seperti biasanya makian, ancaman akan dibunuh dan siksaan berupa pukulan tendangan dan penyetruman masih mereka lakukan.
Pernah ketika dibawa ke bawah selesai ditanya, aku disuruh berendam sampai kepala tenggelam selama beberapa menit,
Materi pertanyaan yang sempat aku ingat pada saat interogasi adalah, aku diminta agar dalam melakukan gerakan jangan merugikan rakyat kecil, lebih baik membakar toko cina saja kata mereka. Bahkan aku sempat ditanya siapa yang ada dibelakang kami, mereka menyebut-nyebut kalau pun LB.Moerdani di belakang kami, mereka tidak akan pernah segan-segan untuk menyikatnya. Juga kami sempat ditanya berapa duit kami dikasih oleh Sofyan Wanandi. Pertanyaan ini mereka lontarkan setelah aku mengalami tekanan mental dan fisik yang berat.
Karena aku merasa tidak pernah tahu dan berhubungan dengan orang-orang yang disebut tadi, maka aku jawab tidak tahu dan kami secara sukarela (bantingan) mendanai kegiatan kami dari kantong sendiri.
Aku di bawah mulai mengenali kawan-kawan, yang paling aku kenal adalah suara Faizol Reza kemudian kami bisa saling mengerti, selain itu ada Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang dan Desmon.

Janji akan dilepaskan
Pada hari Rabu, 1 April 1998 kecuali Haryanto Taslam, kami mengalami pemrosesan yang katanya ada kaitannya dengan pelepasan kami. Tentang janji pembebasan sudah sering diomongkan kepadaku dan Reza jika Andi Arief telah tertangkap.
Tanggal 2 April pagi hari, Pius dilepaskan selang sehari kemudian Desmon pun dibebaskan.
Selama disekap di bawah, kami mendapatkan perawatan atau kunjungan dari dokter seminggu sekali terutama Haryanto Taslam yang tekanan darahnya naik tinggi.
Pada tanggal 6 April ada penghuni baru di sel bawah dan ternyata Andi Arief, dia bercerita diculik di Lampung dan nampaknya dia mengalami siksaan yang tidak kalah berat.
Pada tanggal 15 April sore Haryanto Taslam dibebaskan. Dan kurang lebih pukul 21.00 hingga 24.00 Andi Arief dibawa keatas, setelah kembali lagi dalam sel dia bercerita kalau mendapatkan siksaan lagi. Tak berapa lama aku mendengar dia mengaji, selama + 1 jam dan kemudian meminta maaf kepada kami bila nanti tidak kuat menahan siksaan.
Tanggal 16 April, Andi Arief dibawa ke atas dan kami tidak pernah mendengar lagi suaranya sampai terakhir aku menghuni sel bawah tanah.
Kamis, 23 April aku dan Reza diproses lagi untuk persiapan pembebasanku dan untukku telah dipersiapkan skenario kalau aku ngumpet dan diminta untuk tidak melaksanakan konferensi pers, aku juga diminta mengaku korban salah culik oleh mafia belakang diskotik Menteng karena dikira musuh mereka ketika tawuran di diskotik. Aku diancam untuk tidak melanggar hal tersebut karena resikonya seluruh keluargaku akan dihabisi. Aku mulai di foto-foto lagi.
Pagi tanggal 24 April aku diambil lagi diminta untuk menghafal skenario dan diminta untuk membuat surat pernyataan secara sukarela tanpa tekanan yang berisi untuk tidak menceritakan kepada siapapun terhadap apapun yang kualami dan rasakan selama dalam sekapan dan tidak akan melakukan kegiatan politik setelah keluar. Jika melanggar maka aku dan seluruh keluargaku akan mengalami resiko terburuk. Surat pernyataan tersebut dicap dengan jempol tangan kananku. Aku ditanya ingin pulang ke Jepara pakai apa, aku menjawab naik kereta ke Semarang kemudian naik Bis ke Jepara.
Malamnya kembali aku dibawa ke atas untuk bertemu dengan pimpinan mereka yang bersuara agak berat, dia bersumpah demi Allah untuk tetap memburuku kemana pun dan kapan pun untuk menghabisiku jika melanggar pernyataan itu. Lalu dia menyalamiku dan mendoakan agar menjadi orang yang berguna bagi orang tua dan masyarakat.

8.3  Saat Kebebasan Dipenuhi Ancaman
Pagi, Sabtu 26 April 1998 pukul 06.00 aku dibawa keatas, diperiksa dokter dan diberi vitamin, lalu disuruh pakai sepatu dan ganti celana dalam (sebelumnya aku sempat ditanya berapa ukuran celana dan sepatuku). Kemudia aku dibawa ke sebuah kamar kosong dan di foto puluhan kali.
Sambil menunggu orang yang akan mengantarku ke stasiun Jatinegara, ada seseorang yang mengaku sebagai pimpinan operasi di lapangan, yang mengancamku untuk tidak bercerita kepada siapapun selama berada dalam sekapan, bahkan mereka mengatakan tidak peduli kepada siapapun yang akan memberikan jaminan keamanan.
Mereka berpesan bahwa orang-orang mereka sudah disebar di sekitar stasiun, bahkan di kereta pun mereka sudah siapkan orang-orang mereka, aku diturunkan didekat perempatan pintu kereta Jatinegara kearah Cipinang dan tidak boleh menoleh kebelakang.

8.4  Hal-Hal Lain yang Masih Sempat Aku Ingat
·         Ada suara orang-orang sedang bersenam atau berolahraga sambil bernyanyi-nyanyi secara serempak.
·         Suara Adzan dengan jelas kudengar terutama saat aku masih di ruangan atas, dan suara itu jadi terdengar sayup bila berada di bawah dan suara radio mati.
·         Dari kontruksi bangunan yang digunakan untuk menyekapku yaitu ada ruang bawah tanah, maka secara logis harus punya saluran pembuangan air yang dekat dengan tempat yang lebih rendah (lereng/sungai yang cukup curam).
·         Untuk menuju ruang bawah tanah harus menuruni 7 + 4 anak tangga (ini karena aku yang paling sering dibawa ke atas selama berada di bawah).
·         Pada saat aku dibawa keluar untuk dilepas aku menghitung melewati polisi tidur 3 (tiga) kali.
·         Ubin yang di pasang di koridor dan ruangan yang ada di atas didominasi warna merah dan putih.
Kesaksian ini aku lakukan dengan membangun sisa keberanian untuk menegakkan kebenaran dan didorong oleh kasih sayang keluarga besarku dan dorongan kawan-kawan KONTRAS serta Surat Jaminan Keamanan dari PUSPOM ABRI yang ditandatangani oleh Ka PUSPOM ABRI Mayor Jenderal Syamsu.
Sebersit harapan agar kesaksian ini dapat membantu banyak pihak, yaitu kawan senasib sependeritaan yang saat ini belum jelas nasibnya beserta keluarganya, pihak ABRI dan tentunya negara dengan tatanan hukum dan tegaknya demokrasi serta di hormatinya hak-hak asasi manusia.

9.   Andi Arief Ditodong Moncong Pistol di Pelipis[16]
Ini cerita baru soal penculikan Andi Arief. Ternyata ketika dibawa oleh para penculiknya, Andi bukan hanya diborgol, di kedua pelipis kepalanya "ditempelkan" moncong pistol. Hal itu terbongkar dalam konferensi pers soal orang hilang di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Rabu (29/4).
Konferensi pers yang dipimpin oleh Wakil Ketua YLBHI yang sekaligus Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir SH, juga dihadiri oleh ayah Andi Arief, M Arief Makhya serta tiga kakak perempuannya. Konferensi pers itu dilaksanakan seusai Munir dan keluarga Andi Arief melengkapi laporan mereka kepada Puspom ABRI. Sebelum itu mereka mengunjungi Andi di Mapolda Metro Jaya.
Makhya bercerita, dalam pertemuan yang kedua itu -- sebelumnya ia telah bertemu Andi Sabtu 25 April lalu -- ia mendapat kesan bahwa perlakuan terhadap Andi kurang menyenangkan. Sejak tanggal 28 Maret sampai 7 April 1998, mata Andi ditutup, tangan dan kakinya diborgol ganda, borgolnya dua. Bahkan salah satu borgol diikatkan ke kaki meja. Sehingga Andi tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa, tidak bisa makan, mandi dan tidak bisa shalat (Lihat wawancara Makhya: "Dia Sering Ditutup Matanya").
Kemudian, tanggal 7 April hingga 17 April ia dipindahkan dari tempat terdahulu ke tempat lain, yang diindentifikasi semacam lantai bawah, dan menempati bekas tempat Pius Lustrilanang yang sudah keluar. Andi tetap diborgol, tetapi matanya dibuka. Selanjutnya, sejak tanggal 17 April sampai 20 April 1998, ketika berada di Mabes Polri, Andi tetap diborgol dan mata ditutup. "Inilah yang dikatakan langsung Andi," kata Makhya.
Makhya menyimpulkan bahwa memang benar ia berada di Mabes Polri sejak tanggal 17 April. "Jadi jelas bahwa sebelum itu ia diculik oleh orang, yang menurut kami, tidak dikenal," kata Makhya. "Oleh karena itu perlu sekali aparat berwenang mengusut tuntas siapa yang menculik anak saya."
Hilyati, kakak perempuan tertua Andi, membenarkan bahwa Andi dipindahkan dari tempat penculikan ke Mabes Polri pada tanggal 17 April dengan mata ditutup. Ia diberangkatkan sekitar pukul 23.00 WIB dari tempat penculikan. Setelah lebih satu jam perjalanan, kendaraan yang membawanya berhenti dan ia dipindahkan ke kendaraan lain. "Sampai di Mabes Polri jam satu malam," kata Hilyati. Sesampai di Mabes Polri matanya dibuka. Tetapi tetap diborgol tangannya hingga tanggal 20 April.
Sementara itu selama sepuluh hari periode awal penculikan, 28 Maret sampai 7 April, tambah Hilyati, Andi tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak bisa buang air, tidak bisa shalat. Sementara untuk makan Andi disuapi. Untuk buang air kecil, disediakan kaleng.
Di samping itu di tempat penyekapan, Andi juga sempat diteror mental. Di bagian tubuhnya sering ditempelkan sejumlah pistol. Diperkirakan ada delapan pistol yang ditempelkan ke tubuh Andi. Penculik sempat juga berkata kepada Andi, "Ajal kamu di tangan Tuhan. Tapi bisa, ajal kamu di tangan saya," kata Hilyati, pemilik ruko di Lampung tempat Andi diculik. Dan di dalam ruang penculikan itu, ia disuguhi siaran radio Kiss FM secara penuh. "Hanya tiga jam radio itu istirahat," tambah Hilyati.
Hilyati juga menambahkan, sesuai keterangan dari Andi Arief, bahwa selama di tahanan ia juga melihat tahanan lain, Haryanto Taslam, Rahardjo Waluyojati, dan Faisol Riza dalam keadaan tak menyenangkan. Tapi Hilyati tidak menggambarkan secara jelas bagaimana bentuk penyiksaan terhadap ketiga orang itu.
Ketika ditanya tentang lokasi, Hilyati menjelaskan bahwa sejak dibawa, mata Andi ditutup lalu dibuka (di Bakeuhuni), kemudian ditutup lagi sesampai di Kebon Jeruk, Jakarta, dibuka kembali. Kemudian matanya ditutup kembali, perjalanan ke tempat penyekapan memakan waktu lebih kurang satu jam. Hilyati juga menjelaskan, meski sebelumnya matanya tidak ditutup, Andi tidak bisa melihat kanan kiri karena kedua pelipisnya ditodongkan pistol.
Beda dengan korban penculikan lainnya yang sudah kembali, ketika Andi Arief diserahkan kepada Mabes Polri, ia tidak mendapat pesan khusus, misalnya tidak boleh berbicara kepada pers. "Jadi boleh dikata agak beda dengan yang lain. Kalau yang lain yang dibebaskan itu memang rata-rata mendapat pesan. Andi Arief nggak ada," kata Munir SH.
Dalam kesempatan itu Munir juga mengoreksi jumlah orang hilang yang sebelumnya sempat diberitakan tinggal empat orang. Tiga orang terakhir dibebaskan yakni Rahardjo Waluyojati, Faisol Reza, dan Herman Hendrawan. "Sampai siang jam sepuluh ternyata Herman Hendrawan yang dikabarkan sudah lepas, tidak pernah sampai di rumah. Artinya besar kemungkinan Herman Hendrawan tetap ditahan bersama proses penculikan itu. Sehingga dengan kedaaan demikian, jumlah orang yang sampai hari ini masih belum jelas keberadaannya tetap enam orang," kata Munir.
Munir juga menjelaskan bahwa pihaknya bersama keluarga orang hilang itu telah melengkapi laporannya ke Puspom ABRI. Pihak Puspom ABRI, menurut Munir, menyatakan serius menanganinya, dengan melakukan penyelidikan.

10.  Kesaksian Andi Arief[17]
Saya Andi Arief, Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Saya adalah salah satu korban penculikan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Sampai sekarang saya tidak tahu mana unit dilakukan penculikan saya.
Aku diculik dari toko kakak saya di Lampung pada tanggal 28 Maret 1998. Saya dipaksa dan diseret untuk mengikuti penculik. Saya melihat ada tiga mobil kijang dan saya terlempar ke salah satu van. Saya langsung diborgol dan ditutup matanya dengan kain hitam. Para penculik di dalam mobil memakai topeng ski. Kepala saya didorong ke bawah dan aku terjebak dalam posisi meringkuk selama dua jam.
Tiba-tiba mobil berhenti dan tutup mata saya dibuka tapi tangan saya tetap diborgol. Aku tahu bahwa tempat itu pelabuhan Bakauheni, tempat penyeberangan antara Sumatera dan Jawa. Pada saat itu saya jelas bisa melihat penculik saya. Dua dari mereka memiliki rambut panjang. Komandan yang duduk di depan menyuruh anak buahnya untuk mengubah plat nomor dan kemudian mobil masuk ke feri. Aku tidak ditutup matanya selama sekitar 24 jam.
Feri tiba di Pelabuhan Merak, Jawa Barat. Selama perjalanan ke Jakarta saya bebas untuk melihat semuanya. Tapi begitu kita sampai di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, aku ditutup matanya lagi. Dari Bakauheni sampai Merak saya berhasil mendapatkan informasi bahwa para penculik pernah bertugas di Timor Timur dan bahwa komandan baru saja kembali dari Inggris. Tiga dari lima tentara yang memegang senjata api. Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa apa yang terjadi padaku pada waktu itu adalah risiko perjuangan saya. Setelah itu kami berdiskusi panjang tentang berbagai masalah politik.
Sekitar 6 sore kami berhenti di lokasi tertentu. Saya dibawa ke sebuah ruangan. Aku tidak melihat terlalu banyak orang di ruangan itu dan orang-orang yang berada di ruangan tertawa ketika mereka melihat saya. Mereka memborgol lain untuk tangan saya dan kemudian mereka terpasang dua borgol untuk kursi dengan borgol lain!
Saya diinterogasi siang dan malam. Pertanyaan banyak menyangkut organisasi saya, SMID, dan partai saya berafiliasi dengan, Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mereka juga bertanya tentang L.B. Moerdani [pensiunan jenderal, mantan komandan angkatan bersenjata - ABRI - dan mantan menteri pertahanan], Megawati Soekarnoputri [digulingkan Bahasa Indonesia Democrqatic pesta - PDI - pemimpin], Amien Rais [kepala organisasi muslim Muhammadiyah], sejumlah tokoh dalam Pijar, Aldera, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka juga menyebutkan beberapa nama dan mengatakan kepada saya bahwa orang-orang ini akan ditangkap segera. Saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya tahu mereka sementara sebenarnya saya tidak tahu apapun dari mereka. Saya katakan terus terang bahwa saya tidak mengenal mereka. Saya berada di ruang interogasi selama sepuluh hari dan kemudian aku dibawa ke ruangan lain. Ternyata itu adalah sel dengan ukuran 2 x 2,5 m. Borgol dan penutup mata diambil off. Di dalam sel ada, kasur bak mandi, dan toilet. Saya melihat bahwa ada enam sel-sel di dalam gedung dan masing-masing dipantau oleh kamera video. Sebuah radio bermain sangat keras setiap hari 5:00-02:00 keesokan harinya. Jadi hanya ada tiga jam bebas dari siaran radio sehari-hari. Ia selama ini saat teduh saya bisa mendengar suara seseorang berdoa dalam sel ke kanan saya dan seseorang mengerang keluar dari rasa sakit dalam sel ke kiri saya.
Pada awalnya saya tidak berani berbicara dengan salah satu dari mereka karena kami sedang dipantau oleh kamera video. Tapi, akhirnya saya berani diri saya karena saya ingin tahu siapa mereka. Saya sangat terkejut karena di sebelah kanan adalah Waluyo Jati dan Faisal Reza. Keduanya adalah teman-teman saya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan aktivis SMID di Yogyakarta. Di sisi kiri saya ternyata menjadi [pembantu Megawati] Haryanto Taslam. Setelah saya masuk sel ada pasta gigi, sikat gigi dan botol plastik untuk air minum. Menurut Faisal Reza sel yang digunakan untuk ditempati oleh Pius, dan sel di sebelah kanan sel Faisal Reza digunakan untuk ditempati oleh Desmond. Jadi, baik Pius dan Desmond dibebaskan setelah saya dibawa ke sel.
Faisal Reza dan Waluyo Jati ditangkap di depan Cipto Mangunkusumo Rumah Sakit, Jakarta Pusat, sedangkan Haryanto Taslam diculik di Taman Mini, Jakarta Timur setelah mobilnya ditabrak. Haryanto Taslam sering mengerang kesakitan dan mendengkur ketika ia tidur, mungkin itu karena ia adalah sedikit kelebihan berat badan. badan Waluyo Jati dan Faisal Reza hancur karena mereka diberi sengatan listrik ratusan kali, bahkan alat kelamin mereka diberi kejutan listrik. Sebenarnya, para interogator juga diterapkan kejutan listrik untuk alat kelamin saya, tetapi saya tidak mengekspos kenyataan ini [segera setelah rilis saya] karena saya tidak ingin menyakiti perasaan orang tua saya '. Orang tua saya sudah ngeri di kebrutalan hanya mendengarkan cerita saya tentang menjadi mata tertutup, diinterogasi malam dan siang dan diancam di bawah todongan senjata.
Saya yakin bahwa mereka yang diculik saya adalah bagian dari militer karena saya berada di daerah yang sangat luas. Setiap pagi aku mendengar bunyi sangkakala untuk panggilan roll. Pada tanggal 15 April saya melihat bahwa Haryanto Taslam dibawa keluar dari sel. Hanya ada tiga dari kami yang tersisa di sana. Keesokan harinya, 16 April, saya dibawa keluar jam 11 malam. Aku lagi ditutup matanya dan diborgol. Saya dibawa oleh lima orang dalam mobil ber-AC. Tiba-tiba mobil berhenti di sisi jalan tol. Saya kemudian dipindahkan ke mobil lain yang berjalan pada gas diesel.
Ternyata saya dibawa ke Mabes Polri. Ada transfer dari penculik dan polisi. Saya dibawa ke sebuah sel isolasi. Di sel isolasi hanya ada dua tahanan, saya dan Melisa, seorang terdakwa dalam kasus heroin. Saya diborgol selama tiga hari dan tak seorang pun diizinkan untuk berhubungan dengan saya.
Pada tanggal 17 April saya dibawa untuk bertemu Letnan. Kolonel Lubis dan diminta untuk menandatangani surat penangkapan dan penahanan. Saya menandatangani surat perintah tersebut secara sadar karena saya ingin berkomunikasi dengan dunia luar segera untuk mengekspos apa yang saya dan aktivis lainnya telah berpengalaman.
Pada tanggal 23 April akhirnya saya bertemu dengan keluarga saya. Setelah ditahan di Mabes Polri selama enam hari, saya dipindahkan ke Jakarta Polisi. Sekali lagi, saya mengalami perlakuan tidak manusiawi. hak saya ditolak. Sebagai contoh, saya dan aktivis PRD lainnya yang ditangkap sebelum aku diisolasi satu sama lain. tahanan lainnya dapat berada dalam satu sel bersama-sama tapi kami terpisah satu sama lain. Kami tidak diizinkan untuk bergabung senam. Namun, saya tidak membuat keributan atas diskriminasi semacam itu karena di tengah mengalami penyiksaan fisik dan mental saya mendengar bahwa perkembangan gerakan di luar itu menjanjikan. Orang-orang sudah bergabung dengan perjuangan.
Saya berharap bahwa akan ada penyelidikan menyeluruh terhadap kasus ini penculikan sehingga kita tahu siapa yang melakukan dan siapa yang bertanggung jawab untuk itu. Saya berharap bahwa penyelidikan kasus penculikan ini akan mengungkapkan misteri penghilangan dalam kasus lain, seperti Tanjung Priok, Santa Cruz, Lampung dan 27 Juli 1996. Saya melihat bahwa ABRI mulai merasa terpojok karena orang tahu bahwa itu adalah di balik penculikan ini. Dilihat dari cara mekanisme kerja dan senjata yang mereka gunakan, adalah mustahil bahwa penculikan ini jika dilakukan oleh orang biasa.
Saya berharap bahwa kasus ini tidak akan terulang. Saya tidak ingin para aktivis berhenti karena kasus penculikan ini. Ada dua cara untuk menghindari penculikan. Pertama, kampanye atas kasus ini dan tekanan rezim untuk tidak melakukannya lagi. Kedua, masyarakat, kampus dan pabrik harus membangun sistem keamanan mereka sendiri, karena ini akan memperkecil kesempatan militer untuk membuat penculikan ilegal. Rezim yang terdesak akan menggunakan cara ilegal untuk meredam pergerakan.
Saya percaya bahwa siswa, sesama aktivis pro-demokrasi dan kelompok-kelompok lainnya yang masih berjuang tidak akan takut karena apa yang terjadi kepada kita. Aku sendiri, Pius, Desmond, Waluyo Jati, Faisal Reza dan teman-teman lainnya harus menjadi inspirasi bagi gerakan untuk terus bergerak maju dan waspada. Siapkan infrastruktur untuk meminimalkan kemungkinan penangkapan ilegal!

11.  Wawancara Andi Arief : “Prabowo terlibat, tapi tak mungkin sendiri”[18]
SELASA pekan lalu, 14 Juli, Andi Arief yang diculik dari rumah saudaranya di Bandarlampung, 28 Maret 1998, lalu diserahkan ke Mabes Polri sebelum ke Polda Metro Jaya, benar-benar menghirup udara kebebasan meskipun ini adalah pembebasan karena penangguhan penahanan.
Berikut ini penuturan alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu tentang diungkapkannya kasus penculikan oleh Polisi Militer ABRI dan lain-lain. Kepada Irawan Saptono dan Seno Joko Suyono dari D&R, pemuda berusia 27 tahun yang mengidap diabetes (konon karena diabetesnya ini, pihak intelijen berusaha membebaskan Andi atas desakan seseorang) itu berpendapat, "Tidak fair kalau cuma Prabowo (yang diadili)."
Apa pertimbangan polisi menangguhkan masa penahanan Anda?
Alasan formalnya karena memenuhi permintaan keluarga. Di luar itu, saya kira karena ada cacat prosedur dalam proses penangkapan saya. Jadi, polisi dalam keadaan tertekan. Mabes Polri, dalam hal ini Kolonel Lubis yang waktu itu menerima saya (dari penculik), sampai membuat pengakuan menangkap saya pada tanggal 28 Maret. Padahal, saya diserahkan oleh penculik pada tanggal 17 April 1998.
Ada permintaan tertentu dari polisi ketika Anda dibebaskan?
Tidak ada. Mereka hanya menyarankan untuk melapor ke kepolisian resor kota terdekat demi keamanan. Jadi, mereka pun sadar bahwa saya masih memerlukan pengamanan. Sampai sekarang, saya lihat polisi hanya sebagai penerima atau dipaksa menerima.
Prosesnya Anda diserahkan si penculik ke polisi?
Saya diserahkan ke polisi tanggal 17 April dini hari. Saya dikeluarkan dari tempat penyekapan (X) dan kemudian dipindahkan ke sebuah mobil diesel di (X1). Saya tidak mendengar apa-apa kecuali kata "Siap!" dan mobil bergerak. Kira-kira satu jam kemudian, saya diserahkan ke Mabes Polri.
Jadi, polisi tahu siapa yang menculik Anda?
Jelas mereka saling kenal, minimal secara kesatuan. Dan, pasti ada koordinasi sebelumnya. Mabes Polri tidak mungkin gegabah menerima begitu saja, dan berhak menolak. Memang aneh kenapa saya tidak langsung ditahan di Polda saja sejak awal.
Kini, tujuh (awal pekan ini sudah 10) anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ditahan sebagai tersangka penculikan. Komentar Anda?
Saya melihat bahwa ini bukan cuma pekerjaan satu kesatuan. Saya tidak punya bukti materiil, hanya berdasar bentuk-bentuk interogasi penculik. Interogasinya mulai dari prinsip ideologi sampai ke prinsip organisasi. Saya melihat, ini kerja sistematis dan prosedural dalam pola standar militer (Angkatan Darat). Jadi, tidak fair kalau hanya menyalahkan satu kesatuan atas penculikan yang berlangsung sejak lama--Tanjungpriok, Aceh, Peristiwa 27 Juli, dan sebagainya. Tidak fair kalau hanya menyalahkan Prabowo. Betul ia terlibat, tapi tak mungkin sendiri.
Ketika penculikan Pius dan Desmond, Prabowo masih Komandan Jenderal Kopassus. Ketika saya diculik, Komandan Jenderal Kopassus sudah lain, dan Pangabnya, Wiranto. Kalau ini pekerjaan oknum, tidak akan ada penculikan berikutnya.
Jadi, menurut Anda, siapa yang memberi perintah penculikan itu: Prabowo atau yang lebih tinggi?
Bisa dijawab dari Panglima Tertinggi (Pangti) ABRI. Tapi, bisa juga ditafsirkan lain, mengingat nama Benny Moerdani begitu sering disebut (oleh para penculik). Mungkin dari faksi tertentu yang dominan di ABRI yang menganggap Benny Moerdani masih kuat dan patut disingkirkan.
Maksud Anda dengan faksi, apakah itu faksinya Prabowo?
Bisa jadi. Di kalangan tentara, dia yang paling kasat mata membenci Benny.
Apakah penculik Anda itu dari Kopassus?
Saya tak mengatakan semuanya dari Kopassus. Cuma, karena dari Bakaheuni ke Kebonjeruk penutup mata saya dibuka, jadi saya mengenali wajah mereka. Tiga orang berambut pendek dan dua berambut gondrong.
Mereka cukup menguasai masalah politik, sosial, dan ekonomi. Tiga dari mereka pernah ditempatkan di Timor-Timur, dan salah satu yang duduk di depan, mungkin komandannya, mengaku baru beberapa pekan pulang dari Inggris. Usia si komandan dan anak buahnya rata-rata di bawah 40 tahun. Yang asing buat saya, para penculik itu salat.
Katanya di Pelabuhan Bakauheni para penculik ribut dengan petugas?
Waktu itu mobil harus antre masuk ke feri, mobil Toyota Kijang penculik berusaha menyerobot ke depan. Petugas parkir yang ada mengingatkan mereka, kemudian terjadi ribut-ribut. Lalu, polisi datang, juga ribut dengan para penculik. Belakangan dua orang polisi militer datang. Mereka ribut sebentar, namun polisi militer itu akhirnya pergi setelah seorang penculik memperlihatkan secarik kertas.
Kertas apa itu?
Tidak tahu. (Menurut sumber D&R, penculik itu memperlihatkan surat tugas dari kesatuan Kopassus. Dari sinilah mungkin Pusat Polisi Militer ABRI memulai pengusutannya).
Apakah mereka juga yang mengurus Anda di tempat penyekapan.
Selama di penyekapan, bukan orang-orang itu lagi yang mengurus saya. Yang menginterogasi, merawat saya, memberi makan, menjaga ruang atas dan bawah sudah beda orangnya. Di tempat penyekapan, saya mendengar suara terompet, suara modem, rig (alat komunikasi radio) di tempat itu.
Menurut Anda, bagaimana nasib mereka yang belum pulang?
Saya enggak tahu apakah mereka mati atau masih hidup. Yang jelas, nama Herman Hendrawan, Bimo Petrus, dan Suyat sering disebut-sebut para penculik itu. Bahkan, mereka hafal perilaku Herman, Petrus, dan Suyat. Saya menduga si penculik telah berinteraksi dengan mereka. Jadi, saya yakin mereka di situ meski tidak bertemu. Yang mengherankan saya mengapa mereka tidak segera dikeluarkan.
Bagaimana dengan yang lain, misalnya Dedy Hamdun, Yanni Afri?
Saya tidak pernah bertemu suara atau tatap muka dengan mereka, kecuali dengan Faisol Reza dan Waluyo Jati serta Haryanto Taslam. Tapi, nama mereka sering disebut para penculik dalam interogasi. Bahkan, kalau malam hari, dua penjaga saya suka ngobrol. Mereka bilang, "Mas Andi kalau diinterogasi yang benar, jangan seperti teman-teman yang lain itu." Jadi, saya berkesimpulan, mereka ada di situ. Para penjaga itu masih muda-muda dan baik. Mereka memberi saya rokok dan kopi.
Menurut Anda, di mana Anda disekap?
Saya enggak tahu persis. Hanya, saya bisa kasih bayangan, perjalanan satu jam dari pintu tol Kebonjeruk Sabtu sore itu dalam keadaan macet. Kedua, di daerah itu bisa menerima dua saluran radio, Bogor dan Jakarta.
Apa, sih, yang dicari oleh para penculik itu?
Materi interogasi mewakili sebuah rezim yang berkuasa. Meskipun disinggung nama Benny Moerdani, Megawati, Amien Rais, Gus Dur, secara umum mereka mewakili kepentingan rezim yang berkuasa, untuk melihat potensi-potensi yang bisa menjatuhkan mereka. Saya ditekan apakah ada hubungan dengan Benny.
Soal SMID dan PRD lebih pada taktik, manifesto, juga tentang deklarasi, struktur organisasi serta Peristiwa 27 Juli, kasus bom Tanahtinggi, serta peran saya dalam Mega-Bintang. Mereka tanya soal pendanaan serta ideologi.
Apakah Anda juga disiksa?
Tidak terlalu berat.
Kini, menurut Anda bagaimana sebaiknya ABRI bersikap?
Saya menyarankan agar dilakukan pengakuan terbuka bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan, terjadi perang kotor, yang merupakan kesalahan masa lalu. Kemudian diikuti dengan pengadilan para pelakunya.
Sebenarnya, ada dua contoh yang menarik yang pernah terjadi, yakni di zaman Nazi Jerman dan di negara Amerika Latin, Argentina misalnya. Jerman dalam sejarahnya pernah terjadi holocaust. Yang kedua, di Argentina yang pola penculikan dan pembunuhan terhadap oposan secara besar-besaran mirip seperti di Indonesia. Masa itu dinamakan periode "perang kotor".
Kedua peristiwa itu diakui terjadi, dan dikutuk. Karena itu, di Argentina ada dokumen yang kurang lebih dalam bahasa Indonesia artinya "jangan terulang". Dokumen itu berisi data-data orang yang mati atau hilang selama periode perang kotor. Dan, yang paling penting, dokumen itu diumumkan secara terbuka oleh rezim militer dan diikuti pengadilan-pengadilan, termasuk untuk kasus 10-20 tahun sebelumnya.
Jadi, kalau di Indonesia, Try Sutrisno, Ali Murtopo, Benny Moerdani itu diajukan ke pengadilan semua. Kalau itu tidak dilakukan, akan terjadi lagi penculikan, pembunuhan. Dan, akan muncul self security atau pengamanan diri sendiri oleh rakyat yang memungkinkan terjadinya perlawanan terbuka dengan kekerasan. Sekarang tinggal pilih saja.
Penculikan ini dikatakan untuk membongkar kelompok radikal....
Ya, memang salah satu penculikan ini untuk menghentikan unsur radikal dalam gerakan. Tapi, tidak semua, karena banyak juga penculikan dilakukan bukan terhadap kelompok-kelompok radikal. Jadi, ini taktik dari para pelaku untuk menjustifikasi tindakan mereka.
Apakah kerusuhan Mei lalu ada kaitan dengan penculikan-penculikan?
Saya sedang mencari hubungannya. Saya menduga antara penembakan, kerusuhan, dan penculikan adalah sebuah paket. Mereka mau melihat seberapa kuat oposisi itu.
Apakah Anda boleh baca koran di tahanan? Anda tahu ketika Soeharto turun?
Saya boleh baca koran. Ketika saya dengar Soeharto turun, perasaan saya campur aduk. Saya senang karena eskalasi gerakan mahasiswa cukup baik dan gerakan rakyat terlibat. Tapi, antara rakyat dan mahasiswa belum ketemu; masih dalam proses. Soeharto adalah diktator yang beruntung. Biasanya, diktator yang ditumbangkan mati dibunuh atau melarikan diri.
(Majalah D&R, 25 Juli 1998)


[6] Menurut pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili , dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000.
[7] Sudah dilakukan tanggal 23 Desember 2010
venta ayanx jeanne